HADIS FITRAH DALAM PERSPEKTIF ILMU
PENDIDIKAN
I. PENDAHULUAN
Hadis
merupakan teks normatif kedua setelah al-Qur’an yang menawarkan prinsip dan
doktrin ajaran Islam. Sebagai teks yang kedua (the second teks), hadis
tidaklah sama dengan al-Qur’an, baik pada tingkat kepastian teks maupun pada
taraf kepastian argumen. Padahal sebagai teks normatif kedua setelah al-Qur’an,
hadis berisikan sejumlah konsep, ajaran, doktrin, tuntunan hidup, dan
lain-lain. Karena alasan tersebutlah suatu hadis yang kita dengar atau kita
baca tidak lantas diterima begitu saja, namun harus kita teliti keabsahannya
sebagai sumber rujukan, baik melalui kajian sanad (jalur periwayatannya),
kajian matan (isi, teks, redaksi sebuah hadis), juga diperlukan pemahaman yang
mendalam agar sebuah matan hadis dapat aplikatif dan sesuai dengan konteks pada
era kekinian. Tanpa kontekstualisasi ini, hadis akan menjadi doktrin kering tidak
familier dengan problem masyarakat kontemporer bahkan menjadi lebih ekstrim
lagi, hadis malah menjadi beban sosial-keagamaan pada suatu masyarakat, dan
bukan solusi (petunjuk) yang menjanjikan.[1]
Mengacu pada al-Qur’an dan as-Sunnah kata “fitrah” sendiri mempunyai ragam makna. Dalam Q.s. ar-Rum
ayat 30 dinyatakan bahwa agama Islam bersesuaian benar dengan fitrah manusia.
Ajaran Islam itu sarat dengan nilai-nilai Ilahiah yang universal dan manusiawi
yang patut dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan segala
perintah dan larangan-Nya pun berhubungan erat dengan fitrah manusia.[2]
Dikaitkan dengan ayat diatas, maka hadis
yang dikaji ini akan lebih memperjelas makna fitrah itu sendiri. Dalam makalah
ini, penulis menggunakan pendekatan
ilmu pendidikan untuk memahami hadis.
II. Pembahasan
1.
Hadis Fitrah
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ
أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا
تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
ثُمَّ يَقُولُ فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ
لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّم
Artinya:
“ Tidak ada anak yang lahir kecuali
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci bersih), kemudian ibu bapaknya yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana seekor binatang yang
melahirkan binatang pula dengan sempurna (tidak cacat), apakah kamu temukan
kekurangannya? kemudian Abu Hurairah membacakan potongan ayat: “ (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah, itulah agama yang lurus.”[3]
2.
Kajian Hadis
a.
Kajian Sanad dan Derajat
Hadis
Rangkaian sanad dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
diatas adalah bersambung/ muttasil, karena seluruh perawi dalam setiap
jenjang sanad mempunyai hubungan guru dengan murid, juga marfu’ karena
sanadnya sampai kepada Rasulullah. Adapun kualitas seluruh rawi dalam setiap
jenjang sanad adalah siqah.
Dengan demikian hadis ini sahih, karena seluruh rawi
dalam setiap jenjang sanadnya berkualitas siqah. Hadis dari jalur periwayatan ini memiliki kategori hadis ahad
(karena tidak ada syahidnya, hanya dari satu sahabat yaitu Abu Hurairah), muttasil,
marfu’, dan sahih.
b.
Kajian Matan
Menurut
al-Thibiy sejalan dengan Ibnu al-Atsir al-Jazari, bahwa setiap matan hadis
tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep). Dengan demikian
matan hadis pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya
dirumuskan berbentuk teks. Susunan kalimat dalam matan hadis berfungsi sebagai
sarana perumus konsep keagamaan versi hadis[4].
Mengutip pendapat
al-Khatib al-Baghdadi, sebuah matan dapat dikatakan sahih dan dapat diterima apabila:
a.
Tidak bertentangan dengan akal sehat
b.
Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang
telah muhkam
c.
Tidak bertentangan dengan hadis yang mutawattir
d.
Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti
Dengan melihat
syarat-syarat sahihnya sebuah matan dan dapat diterima, maka hadis fitrah
diatas adalah sahih dan maqbul, karena tidak bertentangan dengan
akal sehat, ayat al-Qur’an, dalil yang sudah pasti, hadis mutawattir juga hadis
ahad lain yang kesahihannya lebih kuat.
Secara umum, suatu matan hadis dapat diterima jika tidak
mengandung syadz (rancu/janggal) dan illat (cacat). Menurut Hasjim Abbas, tujuan yang ingin dicapai pada pembuktian
dugaan syadz pada matan hadis, tidak terkait dengan keutuhan teks,
melainkan klarifikasi keseimbangan antar matan hadis yang mengangkat tema yang
sama. Setelah dikomparasikan dengan matan hadis yang se-tema melalui penelusuran penulis tentang
hadis ini tidak ditemukan kejanggalan (syadz).
Selanjutnya
uji dugaan adanya illat pada matan hadis melalui langkah metodologis
sebagai berikut:
1.
melakukan takhrij untuk matan yang bersangkutan guna
mengetahui jalur sanadnya
2.
melanjutkan dengan i’tibar guna mengkategorikan muttaba’ tam/qashr
menghimpun matan hadis yang sama temanya meski di ujung perawinya terdapat
sahabat yang berbeda (syahid al-hadis),
3. mencermati data dan mengukur segi-segi perpadanan atau
kedekatan pada nisbah ungkapan kepada narasumber, pengantar riwayat, sighat
tahdis dan susunan kalimat matannya.[6]
Hasil
uji dugaan adanya unsur illat pada hadis ini yaitu: melalui uji jalur
sanad, semua perawi siqah, dari sighat yang digunakan dapat kita
lihat termasuk metode periwayatan yang kuat. Maka kategori hadis marfu’ (dapat dijadikan hujjah/ sumber
petunjuk dasar pemikiran keagamaan). Batasan marfu’ yaitu sesuatu
(pemberitaan) yang disandarkan oleh seorang sahabat, atau tabi’in atau oleh
siapapun yang secara khusus kepada Rasulullah Saw. Indikator ke-marfu’-an suatu
hadis tidak harus mencantumkan nama Nabi, tetapi cukup memadai bila materi
berita dalam matan mengisyaratkan adanya ikatan waktu dengan periode kehidupan
Nabi, penjelasan sahabat yang substansinya diyakini bukan merupakan kreasi
ijtihad dan transformasi kejadian-kejadian yang dialami sahabat pada masa
berlalu.[7]Hadis
fitrah ini dilihat dari asbab al-wurudnya
terlihat jelas adanya ikatan waktu dengan periode kehidupan Nabi.
3.
Pengertian Fitrah
Manusia
adalah makhluk yang paling sempurna yang terdiri dari jasmani dan ruhani yang
memiliki kecenderungan berkembang yang dalam psikologi dinamakan
”potensialitas”, dalam Islam kemampuan
dasar atau pembawaan disebut fitrah.
Fitrah secara
etimologi dari bahasa Arab fithratun (فطرة) artinya perangai, tabiat, kejadian asli,
agama, ciptaan.[8]
Fitrah juga diambil dari akar kata al-Fathr yang berarti belahan, dari
makna ini lahir makna-makna lain, antara lain “pencipta” atau “kejadian”.[9] Dalam al-Qur’an
kedua kata ini digunakan untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang
belum ada sebelumnya dan masih merupakan desain “pola dasar” yang memerlukan
penyempurnaan.[10] Dalam kamus Al Munawwir,
kata fitrah diartikan sebagai naluri (pembawaan). Mahmud Yunus
mengartikan, fitrah sebagai agama,
ciptaan, perangai, kejadian asli. Dalam kamus Bahasa Indonesia susunan WJS
Purwadarminta, fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan perasaan
keagamaan (misalnya agama yang tidak selaras dengan kemajuan pikiran yang
sehat, bukanlah agama yang fitrah). Dalam kamus Munjid, kata fitrah
diartikan dengan agama, sunnah, kejadian, tabiat. Kamus Indonesia-Inggris
susunan John Echols dan Hasan Sadili mengartikan fitrah dengan natural
tendency, disposition, character. Dan kamus Arab-Melayu mengartikan fitrah
dengan agama, sunnah, mengadakan, perangai, semula jadi, dan kejadian (khilqatun).[11]
Fitrah secara
lughawi berarti sifat yang disifati terhadap segala wujud pada awal kejadiannya,
dengan kata lain fitrah yaitu sifat dasar manusia. Ibnu Khaldun memaknai fitrah
sebagai potensi-potensi laten yang bertransformasi menjadi aktual setelah
mendapat rangsangan atau pengaruh dari luar.[12]Menurut al-Maraghi, setiap manusia
dilahirkan membawa fitrah Islam yaitu cenderung kepada ajaran tauhid, karena
sesuai dengan yang ditunjukkan akal sehat, maka manusia tidak layak mengganti
fitrah tersebut.[13] Agama Islam adalah agama fitrah, hal ini
disebutkan dalam Q.s. al-Rum 30:
فاقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله اللتي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن اكثر الناس لا يعلمون
Artinya:“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah)(tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(Q.S. 30:30)Yang dimaksud fitrah dalam ayat ini adalah Islam, kalimat fithratallah dalam arti idafah mahdlah yang memerintahkan Nabi untuk selalu tetap dalam fitrah, oleh karena itu kata fitrah berarti Islam.[1] Pengertian lain tentang fitrah Allah dalam ayat diatas adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Karena itu manusia yang tidak beragama tauhid merupakan penyimpangan atas fitrahnya.
[1]Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalnya,
(Bandung:TrigendaKarya, 1993), hal. 29
4. Makna Fitrah dalam Hadis
Makna fitrah secara luas dapat diartikan sebagai
pemahaman terhadap sunnatullah menghadapi dan menyikapi berbagai
masalah dan dinamika yang ada sesuai dengan aturan dan petunjuk Ilahi.[16]
Dari hadis fitrah diatas menurut beberapa ahli,
fitrah dapat diartikan sebagai:
a)
Potensi ber-Islam (al-Din al-Islam).
Pemaknaan
ini dikemukakan oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti beragama Islam, hal ini
sesuai dengan hadis Nabi yaitu: ما من مولود الا وهو على
الملة “Tidaklah
seseorang lahir kecuali dia dalam keadaan beragama”, ketika beliau ditanya
tentang makna fitrah, beliau juga merujuk Q.S.ar-Rum:30. Ibnu Abbas, Ibrahim
al-Nakha’i, Sa’id ibn Jabir, Qatadah, Dahhak, dan lainnya menafsirkan لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ dengan
makna tidak ada perubahan dalam agama Allah.
Menurut Al-Sadr manusia telah diciptakan
sedemikian rupa sehingga agama menjadi bagian dari fitrahnya, dan bahwa ciptaan
Illahi tidak bisa diubah. Agama bukanlah materi budaya yang diperoleh manusia
sepanjang sejarah, karena agama adalah bagian dari fitrah suci manusia maka dia
tidak bisa hidup tanpanya. Al-Qur’an ingin mengatakan bahwa agama bukanlah
sesuatu yang dapat diterima atau ditolak oleh manusia. Ia adalah bagian
fitrahnya yang telah dibentuk oleh Allah, dan yang tidak bisa dirubah. Selama
manusia adalah manusia, maka agama adalah norma yang suci baginya.
Dalam Syarah Shahih Muslim
karangan Imam al-Nawawi disebutkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat bahwa
anak muslim yang meninggal, dia akan masuk surga. Sedangkan anak-anak orang
musyrik yang mati ketika masih kecil, ada tiga kelompok pendapat:
Ø Sebagian berpendapat bahwa anak-anak musyrik itu masuk neraka.
Ø Sebagian mereka tawaqquf (tidak meneruskan
persoalan tersebut)
Ø Sebagian berpendapat
bahwa anak-anak musyrik itu masuk surga.
Pendapat yang terakhir ini didukung oleh
Imam al-Nawawi yang argumentasinya berdasarkan hadis Nabi ketika sedang
melaksanakan Isra’ dan Mi’raj, Beliau melihat Nabi Ibrahim
didalam surga dan disekelilingnya anak-anak manusia. Para sahabat bertanya:
“apakah mereka anak-anak orang musyrik? Nabi menjawab: Ya, mereka itu anak-anak
orang musyrik. [17]
Disebutkan dalam hadis lain yaitu:
الا احدثكم بما حدثني الله في كتابه ان الله خلق ادم وبنيه
حنفاء مسلمين
“Bukankah aku telah menceritakan
kepadamu tentang sesuatu yang Allah telah menceritakan kepadaku dalam
kitab-Nya, bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi
menjadi orang-orang Islam yang suci.” (H.R. ‘Iyad Ibn Humar)
Dengan pemaknaan ini maka setiap anak
yang meninggal dunia ketika usianya belum baligh akan masuk surga, sekalipun ia
dilahirkan dari keluarga non muslim.[18]
b)
Tabiat alami yang dimiliki manusia (human
nature)
Syekh
Muhammad Abduh dalam tafrsirnya berpendapat bahwa agama Islam adalah agama
fitrah. Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Abu A’la Al-Maududi yang
menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi’i manusia (human
nature). Demikian juga pendapat Sayyid Qutb yang menyatakan bahwa Islam
diturunkan Allah untuk mengembangkan watak asli manusia (human nature),
karena Islam adalah agama fitrah.
Agama Islam
sebagai agama fitrah disamakan oleh Ibnu Qayyim dengan kecenderungan asli bayi
yang secara instinktif (naluriah) menerima tetek ibunya. Manusia menerima agama
Islam bukan karena paksaan, melainkan karena adanya kecenderungan asli itu
yaitu fitrah Islamiyah.[19]
Sebelum
manusia mencapai aqil baligh, ia belum bisa membedakan antara iman dan kufur,
dengan potensi fitrah yan dimilkinya ia mampu membedakannya, karena wujud
fitrah adalah qalb yang mengantarkan pada pengenalan kebenaran tanpa
terhalang oleh apa pun. Setelah seorang anak mencapai akil baligh syetan baru
dapat membisikkan kesesatannya.[20]
Menurut
al-Qurthubi, seorang anak itu tidak beriman dan tidak kufur, serta tidak
berpengetahuan. Kufur dan iman itu datang setelah anak itu berakal. Anak lahir
tak ubahnya seperti binatang ternak, tatkala mereka sampai umur, setan
memperdaya mereka sehingga kebanyakan mereka mengkufurkan Tuhan dan sedikit
sekali yang tidak berdosa. Hal ini dikuatkan dalam Q.S. an-Nahl:78, At-Thur:
16, juga al-Mudatsir: 38, yang menyatakan bahwa orang yang belum masa taklif
tidak akan dihisab.[21]
c)
Al- Tauhid atau meng-esakan Tuhan
Bahwa manusia
lahir telah membawa konsep tauhid atau ada kecenderungan mengesakan Tuhannya,
dan berusaha terus mencapai ketauhidan tersebut. Hal itu dapat terlihat dari
dialog antara Allah dengan para arwah (ruh). Menjelang ruh akan menempel dalam
diri manusia dalam wujud nyawa terjadi dialog antara Allah dengan para arwah
(ruh). Q.S. Al-A’raf 172:
الست بربكم “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
قالو بلى شهدنا “Tentu (Engkau Tuhan kami)
kami menjadi saksi.”
Dialog
tersebut menunjukkan bahwa fitrah adalah pengakuan ruh manusia terhadap tauhid.
Oleh karena itu anak yang terlahir sebenarnya sudah membawa konsep tauhid.
Pada proses perkembangan selanjutnya ia berinteraksi dengan lingkungan, namun
demikian secara mendasar dapat dinyatakan bahwa makna fitrah adalah tauhid.[22]
Secara garis
besarnya fitrah lebih tepat dimaknai dengan kejadian dan kesediaan untuk
menerima sesuatu yang ada dalam jiwa anak itu. Dengan fitrah ini seorang
anak akan percaya mendapat petunjuk dan percaya pada Tuhannya. Maka inti dari
fitrah adalah Tauhidullah. Jika seorang anak tidak mencapai fitrah itu
tentu dikarenakan banyak hal yang menghalanginya, diantaranya adalah ibu
bapaknya.[23]
d)
Suci (thuhr)
Menurut
al-Auza’iy, fitrah adalah kesucian jasmani dan ruhani. Dalam konteks
pendidikan, kesucian yang dimaksud adalah kesucian manusia dari dosa waris atau
dosa asal, sebagaimana yang dikatakan oleh Ismail Raji al-Faruqi bahwa:
“Manusia
diciptakan dalam keadaan suci, bersih, tak peduli lingkungan, masyarakat,
keluarga macam apa pun ia dilahirkan. Islam menyangkal setiap gagasan mengenai
dosa asal, dosa waris dan tanggung jawab penebusan dosa, serta keterlibatannya
dalam kesukuan nasional maupun internasional.”[24]
e)
Potensi yang baik
Berdasar hadis diatas, fitrah manusia adalah potensi
yang baik, sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani, dan Majusi bermakna
menyesatkan. Artinya ibu/ bapak, milleu yang menjadikan perkembangannya
menyimpang dari sifat dasar yang suci dan sepatutnya berkembang kearah yang
lebih baik.
Fitrah tidak akan dapat berkembang tanpa adanya dukungan
lingkungan (milleu), dan fitrah tersebut tidak akan menjadi baik, jika
lingkungan yang ada tidak membawanya ke arah kebaikan atau lingkungannya
sendiri tidak baik.
Manusia pada dasarnya baik, pengaruh yang datang
kemudianlah yang akan mempengaruhi apakah jiwa manusia tetap baik atau
menyimpang menjadi jahat. Sikap, sifat baik dan buruk pada dasarnya telah
melekat, tertanam sedemikian rupa sehingga menjadi malakah (mendarah daging). Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari
itulah yang akan menentukan siapa manusia itu. Karena telah mempunyai dasar
yang baik, maka diperlukan pendidikan yang menuntut pengembangan manusia atas
dasar kebaikan secara optimal.[25]
Hadis ini
terdapat sinyalemen bahwa manusia lahir membawa potensi-potensi,
kemampuan-kemampuan yang disebut dengan bawaan. Bapak Ibu dalam Hadis ini
adalah lingkungan. Sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan
keduanyalah yang berpengaruh menentukan perkembangan seseorang.
Pengaruh ini
terjadi baik pada aspek jasmani, akal, maupun ruhani. Aspek jasmani banyak dipengaruhi
oleh alam fisik (selain pembawaan), aspek akal dipengaruhi oleh lingkungan
budaya, sedangkan aspek ruhani banyak dipengaruhi kedua lingkungan itu (selain
pembawaan). Menurut al-Syaibani, pengaruh ini dimulai sejak embrio dan baru
berakhir setelah kematian orang tersebut dengan tingkat dan kadar yang berbeda
pada tiap orang sesuai dengan pertumbuhan, perbedaan umur, dan perbedaan fase
perkembangan masing-masing.[26]
Lebih jauh penjelasan
hadis fitrah tersebut yaitu bahwa fitrah sebagai faktor pembawaan manusia sejak
lahir dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya; bahkan ia tidak akan
dapat berkembang jika tanpa adanya pengaruh lingkungan itu. Sedang lingkungan
itu sendiri juga dapat diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan
karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia).
Meskipun
fitrah dapat dipengaruhi lingkungan,
kondisi fitrah tidaklah netral. Potensi yang terkandung didalamnya secara
dinamis mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh tersebut.
Dengan istilah lain, dalam proses perkembangannya terjadi interaksi (saling
mempengaruhi) antara fitrah dengan lingkungan sekitar, sampai akhir hayat
manusia.[27]
Menurut Hasan
Langgulung, interpretasi hadis diatas adalah bahwa fitrah adalah potensi yang
baik. Sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi bermakna
menyesatkan. Maknanya ibu bapak (alam sekitar)lah yang merusakkan dan
menyesatkan fitrah yang asalnya suci dan sepatutnya berkembang ke arah yang
baik. Sebagai potensi yang baik fitrah tidak akan berguna jika tidak digunakan
(exploited) dalam bentuk kecakapan-kecakapan tertentu. Menurut ahli
pendidikan, untuk mengolah potensi-potensi tersebut adalah tugas utama
pendidikan, yaitu mengubah (transform) potensi-potensi itu menjadi
kecakapan/ kemampuan yang dapat bermanfaat dan dinikmati oleh manusia.[28]
III.
Pendekatan Ilmu Pendidikan
Berbagai potensi dasar manusia atau fitrah
manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui
proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberikan kebebasan dalam mengembangkannya
namun tetap dalam batas-batas tertentu, yaitu hukum-hukum yang pasti dan
tetap yang disebut taqdir
(“keharusan universal” atau “kepastian umum” sebagai batas akhir dari ikhtiar
manusia dalam kehidupannya di dunia.).
Disamping itu, pertumbuhan dan
perkembangan fitrah manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas,
lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio-kultural, sejarah, dan
faktor-faktor temporal. Dalam pendidikan ada lima faktor yaitu: faktor tujuan,
pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan millieu (lingkungan).[29]
Sebagian ulama berpendapat tentang hal-hal
yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perkembangan fitrah anak untuk
tidak condong kepada agama tauhid, antara lain yaitu:
a.
Pengaruh adat pergaulan
b.
Pengaruh lingkungan
c.
Pengaruh hawa nafsu dan kekuasaan
d.
Adanya pendidikan
e.
Guru yang mengajarnya
f.
Perbuatan atau usaha kedua orang tuanya
Dalam pengertian suci, bersih bukan
berarti konsep fitrah ini sama dengan tabularasanya John Locke. Meskipun fitrah
yang berarti suci, bersih, tetapi tidak kosong. Fitrah berisi daya-daya yang
wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Oleh karena
itu fitrah harus dikembangkan dalam bentuk kecakapan-kecakapan, sehingga
berguna bagi manusia. Disinilah tugas utama pendidikan. Sedangkan pendidikan
sangat dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan lingkungan (nativisme dan
empirisme).
Sehubungan dengan hal ini akan dijelaskan
mengenai persamaan dan perbedaan pendidikan Islam (konsep fitrah) dengan
aliran-aliran pendidikan yang dikemukakan oleh Barat[30],
antara lain:
1.
Nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa anak yang
baru lahir membawa bakat, kesanggupan, dan sifat-sifat tertentu, hal inilah
yang aktif berkuasa penuh dalam pertumbuhan dan kemajuan. Pendidikan dan lingkungan
sama sekali tidak berdaya untuk mengubahnya.[31]Hasil
akhir oendidikan dan perkembangan seorang anak ditentukan oleh pembawaan yang
dibawa sejak lahir; yang baik akan menjadi baik, yang jahat akan menjadi jahat.
Mendidik hanya diartikan sebagai “membiarkan anak tumbuh berdasarkan
pembawaannya.[32]
Persamaan: Dalam konsep fitrah juga
mengakui pentingnya faktor pembawaan, sehingga anak didik berperaan besar dalam
membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Fungsi pendidik hanyalah sebagai
fasilitator saja.
Perbedaan: Dalam pendidikan Islam karena
adanya nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik
mempunyai peranan yang besar yaitu bertanggung jawab akan terbentuknya
kepribadian muslim anak didik.[33]
2.
Empirisme
Pendapat aliran ini yaitu bahwa manusia itu
dalam hidup dan perkembangan pribadinya semata-mata ditentukan oleh dunia luar,
sedangkan pengaruh-pengaruh atau faktor-faktor dari dalam (pembawaan)
dianggapnya tidak ada.[34]Hasil
Pendidikan dan perkembangan seorang anak tergantung pada pengalaman-pengalaman
yang diperoleh selama hidupnya. Pendidikan seratus persen tergantung dunia luar
(lingkungan), yang terdiri dari lingkungan hidup (manusia, hewan, dan
tanaman)dan lingkungan mati (benda-benda mati). Mendidik berarti membentuk
manusia menurut kehendak pendidik.[35]
Persamaan: Dalam konsep Islam tentang
fitrah juga mengakui bahwa setiap anak ketika dilahirkan dalam keadaan suci,
bersih, ibarat kertas putih yang siap diisi oleh pendidik.
Perbedaan: Karena berbeda konsep antara
fitrah dengan tabularasa yang memandang seorang anak tidak mempunyai
kecenderungan apapun (baik atau buruk), maka dalam pendidikan Islam peranan
pendidik lebih terbatas dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak.[36]
3.
Konvergensi
Teori ini merupakan perpaduan atau
kompromi dari nativisme dan empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa pertumbuhan
dan perkembangan manusia tergantung dari dua faktor, yaitu faktor bakat/
pembawaan dan faktor lingkungan, pengalaman/ pendidikan. Bakat yang dipengaruhi
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, maka kemungkinan itu akan menjadi
kenyataan, tetapi bakat saja tanpa adanya pengaruh dari lingkungan yang sesuai,
maka kemungkinan itu tidak akan terwujud.
Sebaliknya, pengaruh lingkungan saja tidak
cukup, walaupun fasilitas disediakan dengan sebaik-baiknya, tidak selalu dapat
dipastikan bahwa anak itu akan berkembang seperti yang diinginkan.[37]Menurut
aliran ini ketika anak dilahirkan sudah membawa pembawaan yang baik dan buruk.
Hasil pendidikan seorang anak tergantung dari pembawaan dan lingkungan,
seakan-akan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan.
Ø Pendidikan mungkin
untuk diberikan
Ø Yang membatasi hasil
pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan itu sendiri
Ø Pendidikan diartikan
sebagai pertolongan yang diberikan kepada lingkungan anak didik untuk
mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan yang
buruk.[38]
Persamaan: Pendidikan Islam juga mengakui
pentingnya faktor endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian
anak.
Perbedaan: Dalam konsep pendidikan Islam,
pendidikan tidak hanya diarahkan kepada pencapaian kedewasaan dan kesejahteraan
hidup di dunia saja, tetapi juga kearah yang lebih jelas yaitu ma’rifatullah
dan bertaqwa kepada-Nya.[39]
Islam dengan konsep fitrahnya sudah ada
jauh sebelum aliran-aliran pendidikan tersebut muncul. Pencetus aliran
Nativisme yaitu Schopenhauer hidup antara tahun 1788-1860, sedangkan John locke
sebagai penggagas aliran empirisme hidup antara tahun 1632-1704, William Stern
penggagas aliran konvergensi hidup antara tahun 1871-1939.[40]Jika
kita aplikasikan konsep fitrah dalam aliran/ teori pendidikan yang dipaparkan
diatas, jelas bahwa teori/ aliran konvergensi lah yang hampir sesuai dengan
konsep fitrah tersebut, meski dengan beberapa perbedaan. Konsep fitrah sangat
gamblang menyebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan sudah dilengkapi dengan
potensi-potensi yang baik, akan tetapi potensi tersebut tidak akan berkembang
jika tidak ada pengaruh dari lingkungan, bahkan fitrah kesucian/ tauhid yang
sudah ada itu akan tergantikan dengan yang tidak baik (menyesatkan) karena
pengaruh lingkungan (ibu bapak) yang tidak baik (jauh dari dienul Islam).
Dari paparan diatas sekali lagi hadis
tentang fitrah tersebut menekankan bahwa fitrah yang dibawa semenjak lahir bagi
anak sangat besar dipengaruhi lingkungan. Fitrah tidak akan berkembang tanpa
pengaruh dari lingkungan sekitar, yang mungkin dapat dimodifikasikan atau dapat
diubah secara drastis manakala lingkungannya itu tidak memungkinkan menjadikannya
lebih baik. Faktor-faktor eksogen bergabung dengan fitrah, sifat dasarnya
bergantung sejauh mana interaksi eksternal dengan fitrah itu berperan.[41]
Konsep fitrah dalam hadis ini, pada
hakikatnya setiap anak yang lahir ke dunia ini berada dalam kesucian, terlepas
dari prilaku orang tuanya, artinya dalam Islam tidak ditemukan konsep anak
haram. Konsep fitrah yang berarti kesucian primordial atau asal, mengajarkan
bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh dihukumi buruk atau bersalah, sebelum
terbukti melakukan suatu tindakan atau pekerjaan buruk/ jahat.
Dalam
perkembangannya, konsep fitrah dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan yang
dikenal dengan konsep bakat dan minat. Sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan,
bakat dan minat seorang anak didik perlu dikenali untuk kemudian diarahkan dan
dikembangkan secara maksimal. Hal ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an Qs.
17:84, yang artinya:”Masing-masing bekerja sesuai dengan pembawaannya”. Konsep
pengenalan bakat dan minat inilah yang kemudian melahirkan konsep penjurusan
dan spesialisasi.[42] Setiap
anak didik tidak harus menguasai seluruh ilmu yang diberikan, akan tetapi
disesuaikan dengan potensi (bakat dan minat) serta kemampuan yang dimilikinya
sehingga dapat mengembangkan dirinya secara optimal dan mempunyai nilai
kemanfaatan yang tinggi bagi diri dan lingkungannya.
IV. PENUTUP/ KESIMPULAN
Hasil
kajian hadis dari sisi sanad dan matan yang didapatkan dari hadis diatas, berkualitas
Sahih, karena sanadnya bersambung (muttashil), meskipun ahad
(dan, marfu’, sehingga dapat dijadikan hujjah (sumber
pemikiran dan pengamalan ajaran).
Fitrah merupakan kemampuan dasar yang berpola pada
tauhid, dimana seluruh kemampuan dasar lainnya berinduk pada pola tersebut agar
manusia mampu melaksanakan fungsi-fungsi kemanusiannya. Dengan fitrah ini
seorang anak akan percaya mendapat petunjuk dan percaya pada Tuhannya, inti dari fitrah adalah Tauhidullah.
Jika seorang anak tidak mencapai fitrah itu tentu dikarenakan banyak hal yang
menghalanginya, diantaranya adalah ibu bapaknya.
Berdasar
hadis diatas, fitrah manusia dapat
diartikan sebagai potensi yang
baik, sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani, dan Majusi bermakna
menyesatkan. Artinya ibu/ bapak, milleu yang menjadikan perkembangannya
menyimpang dari sifat dasar yang suci dan sepatutnya berkembang kearah yang
lebih baik. Makna fitrah secara luas dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap
sunnatullah yang telah ditetapkan atas manusia dan alam. Komitmen untuk
selalu menghadapi dan menyikapi berbagai masalah dan dinamika yang ada sesuai
dengan aturan dan petunjuk Ilahi.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasyim,Drs., MA, Kritik Matan ,Yogyakarta , TERAS, 2004
Abdullah, Abdurrahman
saleh, Teori-teori Pendidikan berdasarkan al-Qur’an, Jakarta Rineka
Cipta, 1994.
Ahmadi, Abu, dan
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan,
Jakarta, Rineka Cipta, 1991
Al-Baghdadi, Abu Bakar Ahmad bin Ali Sabit al-Khatib, Kitab
al-Kifayat fi ‘ilm al-Riwayat, Mesir, Mathba’at al-Saadat, 1972
Ali, Nizar, Drs.,MA, Memahami
Hadis Nabi, Yogyakarta , YPI Al-Rahmah,
2001
Anas, Malik bin, Al-Muwatta
of Imam Malik bin Anas; First Formulation of Islamic Law,Translated
by Aisha Abdurrahman Bewley, Spain: Madinah Press Granada, 1997
Al-Shiba’i, Musthafa, Sunnah dan Peranannya dalam
penetapan Hukum Islam (Sebuah Pembelaan Kaum Sunni) Penerj. Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta , Pustaka
Firdaus,1995
Arifin, H.M., Ilmu
Pendidikan Islam; Suatu tinjauan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan
interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993
CD Mausu’at al-hadits
al-syarif al-kutubu al-tis’ah
Djunaidi, A.F.,
“Fitrah Menurut Al-Qur’an: Implikasinya Dalam Pendidikan Islam”, Tesis, IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003
Fathiyakan, Memahami Fiqh Fitrah, Yogyakarta, LESFI,
2004
Hamidy, Zainuddin
dkk, (penterj.), Shahih Buchari, Jakarta, Widjaya, 1970
Iman, Muis Sad, Pendidikan Partisipatif;
menimbang konsep fitrah dan progresivisme John Dewey, Yogyakarta, Safiria Insania, 2004
Muhaimin dan Abd.
Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalnya,
Bandung, TrigendaKarya, 1993
Munawar, Budhy, Rachman,
Ensiklopedi Nurcholis Madjid,
Jakarta, Mizan, 2006
Rahman, Mahyuzar, Konsep
Fitrah Menurut Ibnu Khaldun, dalam makalah seminar, IAIN Sunan Kalijaga,
Program Pascasarjana,1997
Suryosubroto, B., Beberapa
Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 1990
Tim Dosen Sunan
Ampel Malang, Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Suatu Pengantar Ilmu
Pendidikan Islam), Surabaya, Karya Aditama, 1996.
[1]
Hasyim Abbas, Kritik Matan , (Yogyakarta:
TERAS, 2004), hal.Vii
[2]Tim Dosen Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar
Kependidikan Islam (Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Karya
Aditama, 1996), hal.43
[3]
Zainuddin Hamidy,dkk(penterj), Shahih Buchari, (Jakarta: Widjaya, 1970), hal.103
[4]
Hasjim Abbas, Kritik...,
hal.13
[5]Abu Bakar Ahmad bin Ali Sabit al-Khatib
al-Baghdadi, Kitab al-Kifayat fi ‘ilm al-Riwayat, (Mesir: Mathba’at
al-Saadat, 1972), hal.206-207
[7]
Ibid hal. 68
[8]
Hasan Langgulung, Pendidikan dan
Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), hal.215
[9]
M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,1996), hal. 283
[10]
A.F. Djunaidi, “Fitrah Menurut ...,
hal. 2
[11]
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif;
menimbang konsep fitrah dan progresivisme John Dewey, (Yogyakarta: Safiria Insania, 2004), hal.
18-19
[12]
Mahyuzar Rahman, Konsep Fitrah Menurut
Ibnu Khaldun, dalam makalah seminar, IAIN Sunan Kalijaga, Program
Pascasarjana,1997, hal.
[13]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al- Maraghi.
[14]Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalnya,
(Bandung:TrigendaKarya, 1993), hal. 29
[16]
Fathiyakan, Memahami Fiqh Fitrah, (Yogyakarta: LESFI, 2004),hal.Vii
[17]
A.F. Djunaidy, “Fitrah...,hal.34-38
[18]
Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran..,
hal. 14
[19]H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam;
Suatu tinjauan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan interdisipliner, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1993), hal. 91
[20]
Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran...,
hal. 19
[21]
Muis Sad Iman, Pendidikan ...,
hal. 23
[22]
A.F. Djunaidy, “Fitrah...,hal.
2-8
[23]
Muis Sad Iman, Pendidikan ...,
hal. 23
[24]
Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran...,
hal.13
[25]
Mahyuzar Rahman, Konsep Fitrah, hal.
[26] Omar Muhammad al-Taoumy
al-Shaibani, Filsafat pendidikan Islam,terj. Hasan Langgulung, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hal.136
[27]
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan...,hal.
93
[29]
Tim Dosen Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar
Kependidikan..., hal. 45
[30]
Muis Sad Iman, Pendidikan ...,
hal.27
[31]
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), hal. 291
[32]
B. Suryosubroto, Beberapa Aspek
Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 12
[35]
B. Suryosubroto, Beberapa
Aspek..., hal.15
[36]
Muis Sad Iman, Pendidikan…hal.
28
[38]
B. Suryosubroto, Beberapa
Aspek..., hal.16
[39]
Muis Sad Iman, Pendidikan…,
hal. 28
[41]Abdurrahman saleh Abdullah,Teori-teori
Pendidikan berdasarkan al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 62
[42]
Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, (Jakarta:
Mizan, 2006), hal.710
Tidak ada komentar:
Posting Komentar