Minggu, 01 Desember 2013

Hadis Fitrah dalam Perspektif Ilmu Pendidikan

HADIS FITRAH DALAM PERSPEKTIF ILMU PENDIDIKAN
I.       PENDAHULUAN
Hadis merupakan teks normatif kedua setelah al-Qur’an yang menawarkan prinsip dan doktrin ajaran Islam. Sebagai teks yang kedua (the second teks), hadis tidaklah sama dengan al-Qur’an, baik pada tingkat kepastian teks maupun pada taraf kepastian argumen. Padahal sebagai teks normatif kedua setelah al-Qur’an, hadis berisikan sejumlah konsep, ajaran, doktrin, tuntunan hidup, dan lain-lain. Karena alasan tersebutlah suatu hadis yang kita dengar atau kita baca tidak lantas diterima begitu saja, namun harus kita teliti keabsahannya sebagai sumber rujukan, baik melalui kajian sanad (jalur periwayatannya), kajian matan (isi, teks, redaksi sebuah hadis), juga diperlukan pemahaman yang mendalam agar sebuah matan hadis dapat aplikatif dan sesuai dengan konteks pada era kekinian. Tanpa kontekstualisasi ini, hadis akan menjadi doktrin kering tidak familier dengan problem masyarakat kontemporer bahkan menjadi lebih ekstrim lagi, hadis malah menjadi beban sosial-keagamaan pada suatu masyarakat, dan bukan solusi (petunjuk) yang menjanjikan.[1]
Mengacu pada al-Qur’an dan as-Sunnah kata “fitrah sendiri mempunyai ragam makna. Dalam Q.s. ar-Rum ayat 30 dinyatakan bahwa agama Islam bersesuaian benar dengan fitrah manusia. Ajaran Islam itu sarat dengan nilai-nilai Ilahiah yang universal dan manusiawi yang patut dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan segala perintah dan larangan-Nya pun berhubungan erat dengan fitrah manusia.[2]
Dikaitkan dengan ayat diatas, maka hadis yang dikaji ini akan lebih memperjelas makna fitrah itu sendiri. Dalam makalah ini, penulis menggunakan pendekatan ilmu pendidikan untuk memahami hadis.

II.    Pembahasan

1.      Hadis Fitrah

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّم

Artinya:

“ Tidak ada anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci bersih), kemudian ibu bapaknya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana seekor binatang yang melahirkan binatang pula dengan sempurna (tidak cacat), apakah kamu temukan kekurangannya? kemudian Abu Hurairah membacakan potongan ayat: “ (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah agama yang lurus.”[3]


2.      Kajian Hadis
a.       Kajian Sanad dan Derajat Hadis

Rangkaian sanad dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari diatas adalah bersambung/ muttasil, karena seluruh perawi dalam setiap jenjang sanad mempunyai hubungan guru dengan murid, juga marfu’ karena sanadnya sampai kepada Rasulullah. Adapun kualitas seluruh rawi dalam setiap jenjang sanad adalah siqah.

Dengan demikian hadis ini sahih, karena seluruh rawi dalam setiap jenjang sanadnya berkualitas siqah. Hadis dari jalur periwayatan ini memiliki kategori hadis ahad (karena tidak ada syahidnya, hanya dari satu sahabat yaitu Abu Hurairah), muttasil, marfu’, dan sahih.




b.      Kajian Matan

Menurut al-Thibiy sejalan dengan Ibnu al-Atsir al-Jazari, bahwa setiap matan hadis tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep). Dengan demikian matan hadis pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Susunan kalimat dalam matan hadis berfungsi sebagai sarana perumus konsep keagamaan versi hadis[4].

Mengutip pendapat al-Khatib al-Baghdadi, sebuah matan dapat dikatakan sahih  dan dapat diterima apabila:
a.       Tidak bertentangan dengan akal sehat
b.      Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam
c.       Tidak bertentangan dengan hadis yang mutawattir
d.      Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti
e.       Tidak bertentangan dengan hadis ahad lain yang kualitas kesahihannya lebih kuat.[5]
Dengan melihat syarat-syarat sahihnya sebuah matan dan dapat diterima, maka hadis fitrah diatas adalah sahih dan maqbul, karena tidak bertentangan dengan akal sehat, ayat al-Qur’an, dalil yang sudah pasti, hadis mutawattir juga hadis ahad lain yang kesahihannya lebih kuat.
Secara umum, suatu matan hadis dapat diterima jika tidak mengandung syadz (rancu/janggal) dan illat (cacat). Menurut Hasjim Abbas, tujuan yang ingin dicapai pada pembuktian dugaan syadz pada matan hadis, tidak terkait dengan keutuhan teks, melainkan klarifikasi keseimbangan antar matan hadis yang mengangkat tema yang sama. Setelah dikomparasikan dengan matan hadis yang se-tema melalui penelusuran penulis tentang hadis ini tidak ditemukan kejanggalan (syadz).
Selanjutnya uji dugaan adanya illat pada matan hadis melalui langkah metodologis sebagai berikut:
1.      melakukan takhrij untuk matan yang bersangkutan guna mengetahui jalur sanadnya
2.      melanjutkan dengan i’tibar  guna mengkategorikan muttaba’ tam/qashr menghimpun matan hadis yang sama temanya meski di ujung perawinya terdapat sahabat yang berbeda (syahid al-hadis),
3.   mencermati data dan mengukur segi-segi perpadanan atau kedekatan pada nisbah ungkapan kepada narasumber, pengantar riwayat, sighat tahdis dan susunan kalimat matannya.[6]
Hasil uji dugaan adanya unsur illat pada hadis ini yaitu: melalui uji jalur sanad, semua perawi siqah, dari sighat yang digunakan dapat kita lihat termasuk metode periwayatan yang kuat. Maka kategori hadis marfu’ (dapat dijadikan hujjah/ sumber petunjuk dasar pemikiran keagamaan). Batasan marfu’ yaitu sesuatu (pemberitaan) yang disandarkan oleh seorang sahabat, atau tabi’in atau oleh siapapun yang secara khusus kepada Rasulullah Saw. Indikator ke-marfu’-an suatu hadis tidak harus mencantumkan nama Nabi, tetapi cukup memadai bila materi berita dalam matan mengisyaratkan adanya ikatan waktu dengan periode kehidupan Nabi, penjelasan sahabat yang substansinya diyakini bukan merupakan kreasi ijtihad dan transformasi kejadian-kejadian yang dialami sahabat pada masa berlalu.[7]Hadis fitrah ini dilihat dari asbab al-wurudnya terlihat jelas adanya ikatan waktu dengan periode kehidupan Nabi.
3.      Pengertian Fitrah
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang terdiri dari jasmani dan ruhani yang memiliki kecenderungan berkembang yang dalam psikologi dinamakan ”potensialitas”, dalam Islam  kemampuan dasar atau pembawaan disebut fitrah.
Fitrah secara etimologi dari bahasa Arab fithratun (فطرة) artinya perangai, tabiat, kejadian asli, agama, ciptaan.[8] Fitrah juga diambil dari akar kata al-Fathr yang berarti belahan, dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain “pencipta” atau “kejadian”.[9] Dalam al-Qur’an kedua kata ini digunakan untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang belum ada sebelumnya dan masih merupakan desain “pola dasar” yang memerlukan penyempurnaan.[10] Dalam kamus Al Munawwir, kata fitrah diartikan sebagai naluri (pembawaan). Mahmud Yunus mengartikan, fitrah sebagai agama, ciptaan, perangai, kejadian asli. Dalam kamus Bahasa Indonesia susunan WJS Purwadarminta, fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan (misalnya agama yang tidak selaras dengan kemajuan pikiran yang sehat, bukanlah agama yang fitrah). Dalam kamus Munjid, kata fitrah diartikan dengan agama, sunnah, kejadian, tabiat. Kamus Indonesia-Inggris susunan John Echols dan Hasan Sadili mengartikan fitrah dengan natural tendency, disposition, character. Dan kamus Arab-Melayu mengartikan fitrah dengan agama, sunnah, mengadakan, perangai, semula jadi, dan kejadian (khilqatun).[11]
Fitrah secara lughawi berarti sifat yang disifati terhadap segala wujud pada awal kejadiannya, dengan kata lain fitrah yaitu sifat dasar manusia. Ibnu Khaldun memaknai fitrah sebagai potensi-potensi laten yang bertransformasi menjadi aktual setelah mendapat rangsangan atau pengaruh dari luar.[12]Menurut al-Maraghi, setiap manusia dilahirkan membawa fitrah Islam yaitu cenderung kepada ajaran tauhid, karena sesuai dengan yang ditunjukkan akal sehat, maka manusia tidak layak mengganti fitrah tersebut.[13] Agama Islam adalah agama fitrah, hal ini disebutkan dalam Q.s. al-Rum 30:

فاقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله اللتي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن اكثر الناس لا يعلمون 

Artinya:“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah)(tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(Q.S. 30:30)

Yang dimaksud fitrah dalam ayat ini adalah Islam, kalimat fithratallah dalam arti idafah mahdlah yang memerintahkan Nabi untuk selalu tetap dalam fitrah, oleh karena itu  kata fitrah berarti Islam.[1] Pengertian lain tentang fitrah Allah dalam ayat diatas adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Karena itu manusia yang tidak beragama tauhid merupakan penyimpangan atas fitrahnya.
Ini berarti, agama yang diturunkan Allah melalui wahyu kepada para nabi adalah sesuai dengan fitrah (sifat semula kejadian manusia). Bekal kesucian (fitrah) yang dibawa manusia tersebut hendaklah dikembangkan menurut ketentuan yang telah digariskan oleh Islam. Islam sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia, tetapi juga sesuai dengan , bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya, termasuk sumber daya manusianya, sehingga akan membawanya pada keutuhan dan kesempurnaan pribadinya[2].



[1]Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalnya, (Bandung:TrigendaKarya, 1993), hal. 29
[2] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal.49

4.  Makna Fitrah dalam Hadis
Makna fitrah secara luas dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap sunnatullah  menghadapi dan menyikapi berbagai masalah dan dinamika yang ada sesuai dengan aturan dan petunjuk Ilahi.[16]
 Dari hadis fitrah diatas menurut beberapa ahli, fitrah dapat diartikan sebagai:
a)      Potensi ber-Islam (al-Din al-Islam).
Pemaknaan ini dikemukakan oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti beragama Islam, hal ini sesuai dengan hadis Nabi yaitu: ما من مولود الا وهو على الملة “Tidaklah seseorang lahir kecuali dia dalam keadaan beragama”, ketika beliau ditanya tentang makna fitrah, beliau juga merujuk Q.S.ar-Rum:30. Ibnu Abbas, Ibrahim al-Nakha’i, Sa’id ibn Jabir, Qatadah, Dahhak, dan lainnya menafsirkan لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ dengan makna tidak ada perubahan dalam agama Allah.
 Menurut Al-Sadr manusia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga agama menjadi bagian dari fitrahnya, dan bahwa ciptaan Illahi tidak bisa diubah. Agama bukanlah materi budaya yang diperoleh manusia sepanjang sejarah, karena agama adalah bagian dari fitrah suci manusia maka dia tidak bisa hidup tanpanya. Al-Qur’an ingin mengatakan bahwa agama bukanlah sesuatu yang dapat diterima atau ditolak oleh manusia. Ia adalah bagian fitrahnya yang telah dibentuk oleh Allah, dan yang tidak bisa dirubah. Selama manusia adalah manusia, maka agama adalah norma yang suci baginya.
Dalam Syarah Shahih Muslim karangan Imam al-Nawawi disebutkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat bahwa anak muslim yang meninggal, dia akan masuk surga. Sedangkan anak-anak orang musyrik yang mati ketika masih kecil, ada tiga kelompok pendapat:
Ø  Sebagian berpendapat bahwa anak-anak musyrik itu masuk neraka.
Ø  Sebagian mereka tawaqquf (tidak meneruskan persoalan tersebut)
Ø  Sebagian berpendapat bahwa anak-anak musyrik itu masuk surga.
Pendapat yang terakhir ini didukung oleh Imam al-Nawawi yang argumentasinya berdasarkan hadis Nabi ketika sedang melaksanakan Isra’ dan Mi’raj, Beliau melihat Nabi Ibrahim didalam surga dan disekelilingnya anak-anak manusia. Para sahabat bertanya: “apakah mereka anak-anak orang musyrik? Nabi menjawab: Ya, mereka itu anak-anak orang musyrik. [17]
Disebutkan dalam hadis lain yaitu:  
الا احدثكم بما حدثني الله في كتابه ان الله خلق ادم وبنيه حنفاء مسلمين
“Bukankah aku telah menceritakan kepadamu tentang sesuatu yang Allah telah menceritakan kepadaku dalam kitab-Nya, bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang-orang Islam yang suci.” (H.R. ‘Iyad Ibn Humar)
Dengan pemaknaan ini maka setiap anak yang meninggal dunia ketika usianya belum baligh akan masuk surga, sekalipun ia dilahirkan dari keluarga non muslim.[18]  

b)      Tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature)
Syekh Muhammad Abduh dalam tafrsirnya berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Abu A’la Al-Maududi yang menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi’i manusia (human nature). Demikian juga pendapat Sayyid Qutb yang menyatakan bahwa Islam diturunkan Allah untuk mengembangkan watak asli manusia (human nature), karena Islam adalah agama fitrah.
Agama Islam sebagai agama fitrah disamakan oleh Ibnu Qayyim dengan kecenderungan asli bayi yang secara instinktif (naluriah) menerima tetek ibunya. Manusia menerima agama Islam bukan karena paksaan, melainkan karena adanya kecenderungan asli itu yaitu fitrah Islamiyah.[19]
Sebelum manusia mencapai aqil baligh, ia belum bisa membedakan antara iman dan kufur, dengan potensi fitrah yan dimilkinya ia mampu membedakannya, karena wujud fitrah adalah qalb yang mengantarkan pada pengenalan kebenaran tanpa terhalang oleh apa pun. Setelah seorang anak mencapai akil baligh syetan baru dapat membisikkan kesesatannya.[20]
Menurut al-Qurthubi, seorang anak itu tidak beriman dan tidak kufur, serta tidak berpengetahuan. Kufur dan iman itu datang setelah anak itu berakal. Anak lahir tak ubahnya seperti binatang ternak, tatkala mereka sampai umur, setan memperdaya mereka sehingga kebanyakan mereka mengkufurkan Tuhan dan sedikit sekali yang tidak berdosa. Hal ini dikuatkan dalam Q.S. an-Nahl:78, At-Thur: 16, juga al-Mudatsir: 38, yang menyatakan bahwa orang yang belum masa taklif tidak akan dihisab.[21]
c)      Al- Tauhid atau meng-esakan Tuhan
Bahwa manusia lahir telah membawa konsep tauhid atau ada kecenderungan mengesakan Tuhannya, dan berusaha terus mencapai ketauhidan tersebut. Hal itu dapat terlihat dari dialog antara Allah dengan para arwah (ruh). Menjelang ruh akan menempel dalam diri manusia dalam wujud nyawa terjadi dialog antara Allah dengan para arwah (ruh). Q.S. Al-A’raf 172:
الست بربكم  “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
قالو بلى شهدنا “Tentu (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.”
Dialog tersebut menunjukkan bahwa fitrah adalah pengakuan ruh manusia terhadap tauhid. Oleh karena itu anak yang terlahir sebenarnya sudah membawa konsep tauhid. Pada proses perkembangan selanjutnya ia berinteraksi dengan lingkungan, namun demikian secara mendasar dapat dinyatakan bahwa makna fitrah adalah tauhid.[22]
Secara garis besarnya fitrah lebih tepat dimaknai dengan kejadian dan kesediaan untuk menerima sesuatu yang ada dalam jiwa anak itu. Dengan fitrah ini seorang anak akan percaya mendapat petunjuk dan percaya pada Tuhannya. Maka inti dari fitrah adalah Tauhidullah. Jika seorang anak tidak mencapai fitrah itu tentu dikarenakan banyak hal yang menghalanginya, diantaranya adalah ibu bapaknya.[23]
d)     Suci (thuhr)
Menurut al-Auza’iy, fitrah adalah kesucian jasmani dan ruhani. Dalam konteks pendidikan, kesucian yang dimaksud adalah kesucian manusia dari dosa waris atau dosa asal, sebagaimana yang dikatakan oleh Ismail Raji al-Faruqi bahwa:
“Manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih, tak peduli lingkungan, masyarakat, keluarga macam apa pun ia dilahirkan. Islam menyangkal setiap gagasan mengenai dosa asal, dosa waris dan tanggung jawab penebusan dosa, serta keterlibatannya dalam kesukuan nasional maupun internasional.”[24]
e)      Potensi yang baik
Berdasar hadis diatas, fitrah manusia adalah potensi yang baik, sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani, dan Majusi bermakna menyesatkan. Artinya ibu/ bapak, milleu yang menjadikan perkembangannya menyimpang dari sifat dasar yang suci dan sepatutnya berkembang kearah yang lebih baik.
Fitrah tidak akan dapat berkembang tanpa adanya dukungan lingkungan (milleu), dan fitrah tersebut tidak akan menjadi baik, jika lingkungan yang ada tidak membawanya ke arah kebaikan atau lingkungannya sendiri tidak baik.
Manusia pada dasarnya baik, pengaruh yang datang kemudianlah yang akan mempengaruhi apakah jiwa manusia tetap baik atau menyimpang menjadi jahat. Sikap, sifat baik dan buruk pada dasarnya telah melekat, tertanam sedemikian rupa sehingga menjadi malakah (mendarah daging). Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari itulah yang akan menentukan siapa manusia itu. Karena telah mempunyai dasar yang baik, maka diperlukan pendidikan yang menuntut pengembangan manusia atas dasar kebaikan secara optimal.[25]
Hadis ini terdapat sinyalemen bahwa manusia lahir membawa potensi-potensi, kemampuan-kemampuan yang disebut dengan bawaan. Bapak Ibu dalam Hadis ini adalah lingkungan. Sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan keduanyalah yang berpengaruh menentukan perkembangan seseorang.
Pengaruh ini terjadi baik pada aspek jasmani, akal, maupun ruhani. Aspek jasmani banyak dipengaruhi oleh alam fisik (selain pembawaan), aspek akal dipengaruhi oleh lingkungan budaya, sedangkan aspek ruhani banyak dipengaruhi kedua lingkungan itu (selain pembawaan). Menurut al-Syaibani, pengaruh ini dimulai sejak embrio dan baru berakhir setelah kematian orang tersebut dengan tingkat dan kadar yang berbeda pada tiap orang sesuai dengan pertumbuhan, perbedaan umur, dan perbedaan fase perkembangan masing-masing.[26]
Lebih jauh penjelasan hadis fitrah tersebut yaitu bahwa fitrah sebagai faktor pembawaan manusia sejak lahir dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya; bahkan ia tidak akan dapat berkembang jika tanpa adanya pengaruh lingkungan itu. Sedang lingkungan itu sendiri juga dapat diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia).
Meskipun fitrah  dapat dipengaruhi lingkungan, kondisi fitrah tidaklah netral. Potensi yang terkandung didalamnya secara dinamis mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap pengaruh tersebut. Dengan istilah lain, dalam proses perkembangannya terjadi interaksi (saling mempengaruhi) antara fitrah dengan lingkungan sekitar, sampai akhir hayat manusia.[27]
Menurut Hasan Langgulung, interpretasi hadis diatas adalah bahwa fitrah adalah potensi yang baik. Sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi bermakna menyesatkan. Maknanya ibu bapak (alam sekitar)lah yang merusakkan dan menyesatkan fitrah yang asalnya suci dan sepatutnya berkembang ke arah yang baik. Sebagai potensi yang baik fitrah tidak akan berguna jika tidak digunakan (exploited) dalam bentuk kecakapan-kecakapan tertentu. Menurut ahli pendidikan, untuk mengolah potensi-potensi tersebut adalah tugas utama pendidikan, yaitu mengubah (transform) potensi-potensi itu menjadi kecakapan/ kemampuan yang dapat bermanfaat dan dinikmati oleh manusia.[28]

III. Pendekatan Ilmu Pendidikan

Berbagai potensi dasar manusia atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberikan kebebasan dalam mengembangkannya namun tetap dalam batas-batas tertentu, yaitu hukum-hukum yang pasti dan tetap  yang disebut taqdir (“keharusan universal” atau “kepastian umum” sebagai batas akhir dari ikhtiar manusia dalam kehidupannya di dunia.).
Disamping itu, pertumbuhan dan perkembangan fitrah manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio-kultural, sejarah, dan faktor-faktor temporal. Dalam pendidikan ada lima faktor yaitu: faktor tujuan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan millieu (lingkungan).[29]
Sebagian ulama berpendapat tentang hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perkembangan fitrah anak untuk tidak condong kepada agama tauhid, antara lain yaitu:
a.       Pengaruh adat pergaulan
b.      Pengaruh lingkungan
c.       Pengaruh hawa nafsu dan kekuasaan
d.      Adanya pendidikan
e.       Guru yang mengajarnya
f.       Perbuatan atau usaha kedua orang tuanya
Dalam pengertian suci, bersih bukan berarti konsep fitrah ini sama dengan tabularasanya John Locke. Meskipun fitrah yang berarti suci, bersih, tetapi tidak kosong. Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Oleh karena itu fitrah harus dikembangkan dalam bentuk kecakapan-kecakapan, sehingga berguna bagi manusia. Disinilah tugas utama pendidikan. Sedangkan pendidikan sangat dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan lingkungan (nativisme dan empirisme).
Sehubungan dengan hal ini akan dijelaskan mengenai persamaan dan perbedaan pendidikan Islam (konsep fitrah) dengan aliran-aliran pendidikan yang dikemukakan oleh Barat[30], antara lain:
1.      Nativisme
Aliran ini berpendapat bahwa anak yang baru lahir membawa bakat, kesanggupan, dan sifat-sifat tertentu, hal inilah yang aktif berkuasa penuh dalam pertumbuhan dan kemajuan. Pendidikan dan lingkungan sama sekali tidak berdaya untuk mengubahnya.[31]Hasil akhir oendidikan dan perkembangan seorang anak ditentukan oleh pembawaan yang dibawa sejak lahir; yang baik akan menjadi baik, yang jahat akan menjadi jahat. Mendidik hanya diartikan sebagai “membiarkan anak tumbuh berdasarkan pembawaannya.[32]
Persamaan: Dalam konsep fitrah juga mengakui pentingnya faktor pembawaan, sehingga anak didik berperaan besar dalam membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Fungsi pendidik hanyalah sebagai fasilitator saja.
Perbedaan: Dalam pendidikan Islam karena adanya nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik mempunyai peranan yang besar yaitu bertanggung jawab akan terbentuknya kepribadian muslim anak didik.[33]

2.      Empirisme
Pendapat aliran ini yaitu bahwa manusia itu dalam hidup dan perkembangan pribadinya semata-mata ditentukan oleh dunia luar, sedangkan pengaruh-pengaruh atau faktor-faktor dari dalam (pembawaan) dianggapnya tidak ada.[34]Hasil Pendidikan dan perkembangan seorang anak tergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama hidupnya. Pendidikan seratus persen tergantung dunia luar (lingkungan), yang terdiri dari lingkungan hidup (manusia, hewan, dan tanaman)dan lingkungan mati (benda-benda mati). Mendidik berarti membentuk manusia menurut kehendak pendidik.[35]
Persamaan: Dalam konsep Islam tentang fitrah juga mengakui bahwa setiap anak ketika dilahirkan dalam keadaan suci, bersih, ibarat kertas putih yang siap diisi oleh pendidik.
Perbedaan: Karena berbeda konsep antara fitrah dengan tabularasa yang memandang seorang anak tidak mempunyai kecenderungan apapun (baik atau buruk), maka dalam pendidikan Islam peranan pendidik lebih terbatas dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak.[36]
3.      Konvergensi
Teori ini merupakan perpaduan atau kompromi dari nativisme dan empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia tergantung dari dua faktor, yaitu faktor bakat/ pembawaan dan faktor lingkungan, pengalaman/ pendidikan. Bakat yang dipengaruhi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, maka kemungkinan itu akan menjadi kenyataan, tetapi bakat saja tanpa adanya pengaruh dari lingkungan yang sesuai, maka kemungkinan itu tidak akan terwujud.
Sebaliknya, pengaruh lingkungan saja tidak cukup, walaupun fasilitas disediakan dengan sebaik-baiknya, tidak selalu dapat dipastikan bahwa anak itu akan berkembang seperti yang diinginkan.[37]Menurut aliran ini ketika anak dilahirkan sudah membawa pembawaan yang baik dan buruk. Hasil pendidikan seorang anak tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan-akan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan.
                                                                            
Ø  Pendidikan mungkin untuk diberikan
Ø  Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan itu sendiri
Ø  Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada lingkungan anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawaan yang buruk.[38]
Persamaan: Pendidikan Islam juga mengakui pentingnya faktor endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak.
Perbedaan: Dalam konsep pendidikan Islam, pendidikan tidak hanya diarahkan kepada pencapaian kedewasaan dan kesejahteraan hidup di dunia saja, tetapi juga kearah yang lebih jelas yaitu ma’rifatullah dan bertaqwa kepada-Nya.[39]
Islam dengan konsep fitrahnya sudah ada jauh sebelum aliran-aliran pendidikan tersebut muncul. Pencetus aliran Nativisme yaitu Schopenhauer hidup antara tahun 1788-1860, sedangkan John locke sebagai penggagas aliran empirisme hidup antara tahun 1632-1704, William Stern penggagas aliran konvergensi hidup antara tahun 1871-1939.[40]Jika kita aplikasikan konsep fitrah dalam aliran/ teori pendidikan yang dipaparkan diatas, jelas bahwa teori/ aliran konvergensi lah yang hampir sesuai dengan konsep fitrah tersebut, meski dengan beberapa perbedaan. Konsep fitrah sangat gamblang menyebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan sudah dilengkapi dengan potensi-potensi yang baik, akan tetapi potensi tersebut tidak akan berkembang jika tidak ada pengaruh dari lingkungan, bahkan fitrah kesucian/ tauhid yang sudah ada itu akan tergantikan dengan yang tidak baik (menyesatkan) karena pengaruh lingkungan (ibu bapak) yang tidak baik (jauh dari dienul Islam).
Dari paparan diatas sekali lagi hadis tentang fitrah tersebut menekankan bahwa fitrah yang dibawa semenjak lahir bagi anak sangat besar dipengaruhi lingkungan. Fitrah tidak akan berkembang tanpa pengaruh dari lingkungan sekitar, yang mungkin dapat dimodifikasikan atau dapat diubah secara drastis manakala lingkungannya itu tidak memungkinkan menjadikannya lebih baik. Faktor-faktor eksogen bergabung dengan fitrah, sifat dasarnya bergantung sejauh mana interaksi eksternal dengan fitrah itu berperan.[41]
Konsep fitrah dalam hadis ini, pada hakikatnya setiap anak yang lahir ke dunia ini berada dalam kesucian, terlepas dari prilaku orang tuanya, artinya dalam Islam tidak ditemukan konsep anak haram. Konsep fitrah yang berarti kesucian primordial atau asal, mengajarkan bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh dihukumi buruk atau bersalah, sebelum terbukti melakukan suatu tindakan atau pekerjaan buruk/ jahat.
Dalam perkembangannya, konsep fitrah dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan yang dikenal dengan konsep bakat dan minat. Sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan, bakat dan minat seorang anak didik perlu dikenali untuk kemudian diarahkan dan dikembangkan secara maksimal. Hal ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an Qs. 17:84, yang artinya:”Masing-masing bekerja sesuai dengan pembawaannya”. Konsep pengenalan bakat dan minat inilah yang kemudian melahirkan konsep penjurusan dan spesialisasi.[42] Setiap anak didik tidak harus menguasai seluruh ilmu yang diberikan, akan tetapi disesuaikan dengan potensi (bakat dan minat) serta kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat mengembangkan dirinya secara optimal dan mempunyai nilai kemanfaatan yang tinggi bagi diri dan lingkungannya.

IV. PENUTUP/ KESIMPULAN

Hasil kajian hadis dari sisi sanad dan matan yang didapatkan dari hadis diatas, berkualitas Sahih, karena sanadnya bersambung (muttashil), meskipun ahad (dan, marfu’, sehingga dapat dijadikan hujjah (sumber pemikiran dan pengamalan ajaran).
 Fitrah merupakan kemampuan dasar yang berpola pada tauhid, dimana seluruh kemampuan dasar lainnya berinduk pada pola tersebut agar manusia mampu melaksanakan fungsi-fungsi kemanusiannya. Dengan fitrah ini seorang anak akan percaya mendapat petunjuk dan percaya pada Tuhannya, inti dari fitrah adalah Tauhidullah. Jika seorang anak tidak mencapai fitrah itu tentu dikarenakan banyak hal yang menghalanginya, diantaranya adalah ibu bapaknya.
Berdasar hadis diatas, fitrah manusia dapat diartikan sebagai  potensi yang baik, sebab pengertian menjadikan Yahudi, Nasrani, dan Majusi bermakna menyesatkan. Artinya ibu/ bapak, milleu yang menjadikan perkembangannya menyimpang dari sifat dasar yang suci dan sepatutnya berkembang kearah yang lebih baik. Makna fitrah secara luas dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap sunnatullah yang telah ditetapkan atas manusia dan alam. Komitmen untuk selalu menghadapi dan menyikapi berbagai masalah dan dinamika yang ada sesuai dengan aturan dan petunjuk Ilahi.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasyim,Drs., MA, Kritik Matan ,Yogyakarta, TERAS, 2004
Abdullah, Abdurrahman saleh, Teori-teori Pendidikan berdasarkan al-Qur’an, Jakarta Rineka Cipta, 1994.
 Ahmadi, Abu, dan Nur Uhbiyati,  Ilmu Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 1991
Al-Baghdadi,  Abu Bakar Ahmad bin Ali Sabit al-Khatib, Kitab al-Kifayat fi ‘ilm al-Riwayat, Mesir, Mathba’at al-Saadat, 1972
Ali, Nizar, Drs.,MA, Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta, YPI Al-Rahmah, 2001
Anas, Malik bin, Al-Muwatta of Imam Malik bin Anas; First Formulation of Islamic Law,Translated by Aisha Abdurrahman Bewley, Spain: Madinah Press Granada, 1997
Al-Shiba’i, Musthafa, Sunnah dan Peranannya dalam penetapan Hukum Islam (Sebuah Pembelaan Kaum Sunni) Penerj. Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta, Pustaka Firdaus,1995
Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam; Suatu tinjauan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993
CD Mausu’at al-hadits al-syarif al-kutubu al-tis’ah
Djunaidi, A.F., “Fitrah Menurut Al-Qur’an: Implikasinya Dalam Pendidikan Islam”, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003
Fathiyakan, Memahami Fiqh Fitrah, Yogyakarta, LESFI, 2004
Hamidy, Zainuddin dkk, (penterj.),  Shahih Buchari,  Jakarta, Widjaya, 1970
Iman,  Muis Sad, Pendidikan Partisipatif; menimbang konsep fitrah dan progresivisme John Dewey,  Yogyakarta, Safiria Insania, 2004
Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalnya, Bandung, TrigendaKarya, 1993
Munawar, Budhy, Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Jakarta, Mizan, 2006
Rahman, Mahyuzar, Konsep Fitrah Menurut Ibnu Khaldun, dalam makalah seminar, IAIN Sunan Kalijaga, Program Pascasarjana,1997
Suryosubroto, B., Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 1990
Tim Dosen Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam), Surabaya, Karya Aditama, 1996.





[1] Hasyim Abbas, Kritik Matan , (Yogyakarta: TERAS, 2004), hal.Vii
[2]Tim Dosen Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Karya Aditama, 1996), hal.43
[3] Zainuddin Hamidy,dkk(penterj),  Shahih Buchari,  (Jakarta: Widjaya, 1970),  hal.103
[4] Hasjim Abbas, Kritik..., hal.13
[5]Abu Bakar Ahmad bin Ali Sabit al-Khatib al-Baghdadi, Kitab al-Kifayat fi ‘ilm al-Riwayat, (Mesir: Mathba’at al-Saadat, 1972), hal.206-207
[6]Hasjim Abbas, Kritik ..., hal. 107
[7] Ibid hal. 68                                                                                
[8] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), hal.215
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,1996), hal. 283
[10] A.F. Djunaidi, “Fitrah Menurut ..., hal. 2
[11] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif; menimbang konsep fitrah dan progresivisme John Dewey,  (Yogyakarta: Safiria Insania, 2004), hal. 18-19
[12] Mahyuzar Rahman, Konsep Fitrah Menurut Ibnu Khaldun, dalam makalah seminar, IAIN Sunan Kalijaga, Program Pascasarjana,1997, hal.
[13] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al- Maraghi.
[14]Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian filosofik dan kerangka dasar operasionalnya, (Bandung:TrigendaKarya, 1993), hal. 29
[15] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal.49
[16] Fathiyakan, Memahami Fiqh Fitrah, (Yogyakarta: LESFI, 2004),hal.Vii
[17] A.F. Djunaidy, “Fitrah...,hal.34-38
[18] Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran.., hal. 14
[19]H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu tinjauan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 91
[20] Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran..., hal. 19
[21] Muis Sad Iman, Pendidikan ..., hal. 23
[22] A.F. Djunaidy, “Fitrah...,hal. 2-8
[23] Muis Sad Iman, Pendidikan ..., hal. 23
[24] Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran..., hal.13
[25] Mahyuzar Rahman, Konsep Fitrah, hal.
[26] Omar Muhammad al-Taoumy al-Shaibani, Filsafat pendidikan Islam,terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal.136
[27] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan...,hal. 93
[28] Hasan Langgulung, Pendidikan dan..., hal. 214-215
[29] Tim Dosen Sunan Ampel Malang, Dasar-Dasar Kependidikan..., hal. 45
[30] Muis Sad Iman, Pendidikan ..., hal.27
[31] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati,  Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 291
[32] B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 12
[33] Muis Sad Iman Pendidikan..., hal.28
[34] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati,  Ilmu Pendidikan, hal. 293
[35] B. Suryosubroto, Beberapa Aspek..., hal.15
[36] Muis Sad Iman, Pendidikan…hal. 28
[37] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati,  ,  Ilmu Pendidikan, hal.297
[38] B. Suryosubroto, Beberapa Aspek..., hal.16
[39] Muis Sad Iman, Pendidikan…, hal. 28
[40] B. Suryosubroto, Beberapa Aspek...,hal. 14-16
[41]Abdurrahman saleh Abdullah,Teori-teori Pendidikan berdasarkan al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 62
[42] Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, (Jakarta: Mizan, 2006), hal.710

Tidak ada komentar:

Posting Komentar