Senin, 02 Desember 2013

Model Lembaga Pendidikan DI Indonesia


MODEL LEMBAGA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Nismatul Khoiriyah    
Mahasiswa Magister Studi Islam Konsentrasi Supervisi Pendidikan Agama Islam UMY 2013

A.    Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar menyiapkan generasi muda (peserta didik) melalui aktivitas pengajaran, bimbingan dan/ atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.[1]
Lembaga pendidikan baik formal, non formal atau informal adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dan budaya (peradaban). Melalui praktik pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, peserta didik diajak untuk memahami bagaimana sejarah atau pengalaman budaya dapat ditransformasi dalam zaman kehidupan yang akan mereka alami serta mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan dan tuntutan yang ada di dalamnya. Dengan demikian lembaga pendidikan sebagai tempat pembelajaran manusia memiliki fungsi sosial yaitu sebagai agen perubahan dalam masyarakat.
Berbicara tentang lembaga pendidikan, kita harus memahami sejarah dan dinamikanya, mulai dari awal pemunculannya sampai dengan sekarang ini yang erat kaitannya dengan kondisi masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan serta kebijakan pemerintah.
B.     Pembahasan
1.      Lembaga Pendidikan
Pendidikan adalah setiap proses di mana seseorang memperoleh pengetahuan, mengembangkan kemampuan/ keterampilan atau mengubah sikap. Pendidikan memiliki fungsi sosial dan individual, fungsi sosialnya membantu individu menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman kolektif masa lampau dan masa kini. Fungsi individualnya, memungkinkan seorang menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan menyiapkannya menghadapi masa depan.[2]
Proses pendidikan dapat berlangsung secara formal (wujudnya berupa satuan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat), informal (keluarga dan masyarakat), dan non formal (lembaga kursus, lembaga pelatihan, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis).[3]
Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa lembaga pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak dan karakter masyarakat. Belajar dari sejarah perkembangan lembaga pendidikan di Indonesia memiliki ragam corak dan tujuan yang berbeda sesuai dengan kondisi yang melingkupi, mulai dari zaman kerajaan dengan bentuknya yang sangat sederhana, zaman penjajahan yang sebagian memiliki corak ala Barat dan gereja, dan corak ketimuran ala pesantren, serta model dan corak kelembagaan yang berkembang saat ini.[4]
2.      Sejarah Lembaga Pendidikan di Indonesia
Lembaga pendidikan merupakan satu sistem yang memungkinkan berlangsungnya pendidikan secara berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Bila kita lihat jauh ke belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan adopsi dari berbagai model pendidikan di masa lalu. Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna, namun bisa diasumsikan pendidikan masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana.
Sebelum masuknya Hindu, pendidikan diberikan langsung oleh orang tua atau orang tua-orang tua dari masyarakat setempat mengenai kehidupan spiritual moralnya dan cara hidup untuk memenuhi perekonomian mereka. Dalam kebudayaan Hindu-Budha dikenal sistem pendidikan Karsyan (bagi petapa dan orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri pada dewa). Karsyan memiliki dua bentuk, yaitu patapan (tempat seseorang mengasingkan diri sampai berhasil menemukan petunjuk atau sesuatu diinginkan) dan mandala (tempat suci yang menjadi pusat kegiatan keagamaan, sebuah kawasan yang diperuntukan untuk para wiku/ pendeta, murid, juga pengikutnya).
Dalam Islam, lembaga pendidikan merupakan hasil pemikiran yang dicetuskan oleh kebutuhan masyarakat yang didasari, digerakkan, dan dikembangkan oleh jiwa Islam (Al-Qur’an dan Sunnah). Islam telah mengenal lembaga pendidikan sejak awal turunnya wahyu. Rumah Al Arqam ibn Abi Al Arqam merupakan lembaga pendidikan pertama dan guru agung yang pertama adalah Nabi Muhammad saw. Sejalan dengan makin berkembangnya pemikiran tentang pendidikan, maka didirikanlah berbagai macam lembaga pendidikan Islam mulai dari yang tradisional maupun modern.
Secara garis besar sistem pendidikan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan terbagi menjadi dua, yaitu pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab[5]. Pengajian al-Qur’an merupakan pendidikan paling sederhana dan bersifat individual yang diberikan di rumah guru, di surau, langgar maupun di rumah orang tua murid. Dalam pengajian ini murid mempelajari huruf-huruf Arab dan menghafalkan sebagian ayat-ayat dalam al-Qur’an (juz Amma), tata cara wudlu, shalat dan ilmu tajwid. Pengajian kitab diberikan secara individual dan kelompok (halaqah), pada umumnya murid masuk dalam asrama (pesantren), mata pelajaran awal adalah bahasa Arab (Nahwu, Sharaf) dan dilanjutkan dengan Fiqih, Tauhid, Ushuluddin, Tafsir, Tasawuf, Hadits, Hisab dan Falak (tergantung keahlian/ perhatian kyai).
Berikut dipaparkan sekilas lembaga pendidikan yang ada di Indonesia:
a.       Surau
Surau bagi masyarakat Minangkabau memiliki multifungsi, yaitu: sebagai tempat berkumpul, rapat, tempat tidur, persinggahan perantau dan sebagai lembaga pendidikan Islam. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan di awal adalah huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu, seperti aqa’id, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari, ada dua jenjang dalam pendidikan surau ini, yaitu: pengajaran al-Qur’an dan pengajian kitab.[6]
b.      Meunasah
Meunasah merupakan lembaga pendidikan tingkat rendah yang ada di Aceh, fungsinya hampir sama dengan surau. Materi pelajaran yang diberikan masih seputar pengetahuan tentang bagaimana cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar, kemudian baru diberikan pengetahuan tentang keimanan, akhlak dan ibadah. Meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu, karenanya tidaklah mengherankan jika orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.[7] Selanjutnya para murid dapat meneruskan belajar Islam di Dayah dan Rangkang.
c.       Pesantren
Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, mendalami, memahami dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam.[8] Menurut Sudjoko Prasodjo, Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama; pada umumnya dengan cara non klasikal, kyai mengajarkan kitab-kitab berbahasa Arab darih Ulama’ abad pertengahan dan para santri tinggal dalam asrama pesantren tersebut.[9]
Karakteristik pesantren dapat dilihat melalui[10]: (1) sumber kajian (kitab-kitab berbahasa Arab: Al-Qur’an, Hadis, Tafsir, Tajwid, ilmu Kalam, Fiqh, Ushul Fiqh, Nahwu, Sharaf, Tarikh, Mantiq, Tasawuf dan lain-lain), (2) metode pengajaran (sorogan, wetonan/ bandongan/ halaqah dan hafalan), (3) prinsip-prinsip pendidikan (sukarela dalam pengabdian, kearifan, kesederhanaan, kolektivitas, kemandirian, mencari ilmu dan mengabdi, bukan mencari ijazah, restu kyai), (4) fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, sosial dan penyiaran agama (transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama)[11], (5) kedekatan hubungan antara kyai dan santri, kepatuhan santri terhadap kyai.
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi. Nilai nilai progresif dan inovatif diadopsi pesantren sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain. Hal inilah yang menurut Azyumardi Azra menjadikan pesantren tetap survive ditengah gelombang modernisasi dan globalisasi. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.
d.      Sekolah
Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang berarti waktu luang atau senggang, ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja dengan mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf, mengenal moral dan estetika (seni) yang didampingi oleh  ahli dan paham psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran di atas.[12]
Model lembaga sekolah di Indonesia dibawa dan dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang sangat berbeda dengan lembaga pendidikan Islam saat itu baik dari sisi metode, isi dan tujuannya. Sekolah memusatkan pendidikannya pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, sedangkan lembaga pendidikan Islam ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan keagamaan. Hollandsch-Inlandsche School (HIS) adalah sekolah tertinggi dengan kurikulum 7 tahun yang hanya diperuntukkan kalangan terkemuka. Bagi rakyat biasa didirikan “sekolah desa” yang merupakan pendidikan dasar 3 tahun, dan dapat melanjutkan ke Schakelschool (5 tahun, setara dengan HIS).[13]
Kebijakan pemerintah Belanda tentang sekolah sangat mempengaruhi lembaga pendidikan Islam yang ada saat itu, banyak diantara para guru pengajian (guru agama Islam) yang mengenyam sekolah desa dan kemudian menerapkan sistem tersebut. Bahkan beberapa tokoh mendirikan lembaga pendidikan dengan mengadopsi sistem sekolah, yaitu memberikan pendidikan umum secara klasikal. Diantaranya, Abdullah Ahmad di Padang, mendirikan sekolah Adabiyah (1907), Sumatera Thawalib didirikan oleh Zainuddin Labai yang mengawinkan antara sistem sekolah dengan metode pendidikan dari Mesir, selanjutnya ia juga mendirikan Diniyyah School di Padang Panjang (1915), Normal Islam diprakarsai oleh Mahmud Yunus (1931) yang mengadopsi sistem sekolah, jadwal dan kurikulum sudah ditetapkan dan diatur jenjang kelas I sampai IV, pelajaran umum diberikan seimbang dengan pelajaran agama. Tahun 1911, K.H. Ahmad Dahlan memprakarsai berdirinya sekolah dasar di lingkungan Kraton Yogyakarta berdasarkan sistem pendidikan gubernemen[14].
e.       Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang kurikulumnya memuat pelajaran agama dan umum yang dilakukan secara klasikal. Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia disebabkan dua hal, yaitu adanya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia[15] dan sebagai respon pendidikan Islam terhadap kebijakan Pendidikan Hindia Belanda (mendirikan sekolah zending, sekolah khusus untuk anak-anak Belanda dan kalangan pribumi yang terkemuka, melarang mengajarkan agama Islam di sekolah-sekolah yang didirikan maupun di subsidi oleh pemerintah Belanda).[16]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang baik yang dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu  umum.[17]
3.      Kebijakan Pemerintah tentang Model Lembaga Pendidikan
a.       Pemerintah Kolonial Belanda
Secara umum penyelenggaraan pendidikan kolonial adalah sebagai berikut:
(1)   Membiarkan terselenggaranya pendidikan Islam tradisional serta memberikan subsidi, antara lain: melanjutkan sistem lama dalam bentuk pengajian al-Qur’an dan kitab kuning, membantu pendirian pondok pesantren misalnya di Tebuireng dan Gontor, memberikan subsidi pada sekolah, misalnya sekolah adabiyah dan sekolah Islam di Yogyakarta.
(2)   Mendirikan sekolah Zending (misionaris) yang bertujuan menyebarkan agama Kristen untuk orang-orang Belanda dan bumi putra.
Ciri khas yang melekat pada sekolah Belanda, antara lain: (a) dualistik diskriminatif, yaitu membedakan pendidikan untuk orang Eropa dan Bumiputera[18] (b) sentralistik yaitu pemerintah kolonial Belanda memiliki hak mengatur pendidikan di daerah koloninya, dan (c) tujuannya dapat menghasilkan tamatan yang menjadi warga negara Belanda kelas dua.
b.      Pendudukan Jepang
Penyelenggaraan pendidikan zaman Jepang ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi Jepang. Oleh karena itu banyak pemuda dilatih baris berbaris, bela diri, menggunakan senjata sehingga lahir Keibodan (polisi pembantu), Heiho (tentara pembantu), Fujinkai (sukarelawan wanita) yang semuanya bergabung dalam Peta (Pembala Tanah Air).
Sekolah yang didirikan Belanda dirombak, misalnya sekolah rendah (Lagere Onderwijs) diganti Sekolah Rakyat (Kokumin Gakho) terbuka untuk semua penduduk dengan lama pendidikan enam tahun[19]dan beberapa sekolah yang didirikan Jepang untuk rakyat. Namun demikian, akibat dampak perang dunia II menjadikan penjajah Jepang semakin kejam, pendidikan semakin terbengkalai karena setiap hari murid disuruh olah raga, baris berbaris, kerja bakti (romusha) dan lain-lain. Yang masih beruntung adalah pondok pesantren dan madrasah yang bebas pengawasan dari Jepang, pendidikan masih dapat berjalan.[20]
c.       Pemerintah R.I.
Ditinjau dari segi falsafah Pancasila dan UUD 1945 dan dari produk perundang-undangan lainnya yang mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, maka kehidupan beragama dan pendidikan semakin mantap. Teknik pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum mengalami perubahan baik dari sisi keilmuannya maupun dari strategi dan metode pelaksanaannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia, Departemen Agama diserahi kewajiban dan tanggung jawab membina dan mengembangkan pendidikan agama dalam lembaga pendidikan yang ada, baik negeri maupun swasta.[21] Seterusnya Institusi ini juga mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum.
C.    Kesimpulan (Analisis Model Lembaga Pendidikan di Indonesia)
Penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan di Indonesia berjalan dinamis dan memiliki ragam model. Diantaranya adalah pesantren, sekolah dan madrasah. Pesantren merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia yang mengajarkan ilmu-ilmu agama (Islam), sekolah merupakan sistem pendidikan Barat yang pada awalnya tidak mencampurkan pendidikan umum dan agama namun dianggap modern, kemudian muncul madrasah sebagai konvergensi antara sistem pesantren dan sekolah.
Sekolah adalah lembaga dibawah binaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara Madrasah dibawah tanggung jawab Kementrian Agama. Tentu saja kebijakan pendidikan dibawah dua kementrian yang berbeda menimbulkan berbagai macam persoalan. Lulusan madrasah, misalnya dianggap mandul dengan penguasaan pengetahuan dangkal dan penguasaan ilmu agama yang tidak jauh berbeda dengan lulusan dari sekolah umum.
Berbagai kebijakan pun diluncurkan oleh menteri agama, Munawir Sadzali mengeluarkan kebijakan MAPK untuk menjawab kelangkaan ulama, Tarmidzi Taher menawarkan kebijakan “Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Sekali lagi setiap kebijakan ada kelemahannya. Dari kebijakan yang ditawarkan Tarmidzi Taher terjadi perbedaan tajam antara kelompok yang memahami secara simbolik dan kelompok yang memahami secara substansial. Kelompok Simbolik hanya melihat tampilan luar, misalnya seragam yang digunakan siswa-siswinya, sapaan yang digunakan, dan lain-lain. Sementara pengikut substansial menganggap kebijakan tersebut sebagai upaya mewujudkan insan kamil yang memiliki dan mengembangkan pandangan, sikap dan ketrampilan hidup yang berperspektif islami.

Daftar  Pustaka
Azra, Azyumardi, Pesantren: “Kontinuitas dan Perubahan”dalam  Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina: 1996
Daud, Muhammad, Lembaga lembaga Islam di Indonesia ,Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1995
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.tt.cet 2.
Nata, Abuddin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001
Prasodjo, Sudjoko, et al., Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982.
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah,  Sekolah ; Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3 ES, 1986.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Makalah sejarah Pendidikan, www.ukhuwahislah.blogspot.com
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  Tahun 2003, www. Tripod.com
www.kangsaviking.wordpress.com diunduh Sabtu 28 September 2013.
Wikipedia: id.wikipedia.org diunduh Sabtu, 28 September 2013.


[1] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  Tahun 2003, www. Tripod.com diunduh: Ahad, 29 September 2013.
[2]  www.kangsaviking.wordpress.com diunduh Sabtu 28 September 2013.
[3] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  Tahun 2003, www.Tripod.com diunduh: Ahad, 29 September 2013. Lihat Wikipedia: id.wikipedia.org diunduh Sabtu, 28 September 2013.
[4]  Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.tt.cet 2. Hlm. 152

[5] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah,  Sekolah ; Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, (Jakarta: LP3 ES, 1986), hlm. 10-14.
[6] Samsul Nizar, “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm.7-12.
[7] M. Sadli Z.A., “Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh” dalam Abuddin Nata, Sejarah …, hlm.42-43.
[8] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 55.
[9] Sudjoko Prasodjo, et al., Profil Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 6.
[10] Hasan Basri, “Pesantren: Karakterstik dan Unsur-unsur Kelembagaan”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan, hlm.107-119.
[11] Azyumardi Azra, Pesantren: “Kontinuitas dan Perubahan”dalam  Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina: 1997), hlm. xxi.
[12] Wikipedia: id.wikipedia.org diunduh Sabtu, 28 September 2013.
[13] Karel A. Steenbrink, Pesantren… hlm. 23-24.

[14] Karel A. Steenbrink, Pesantren… hlm. 52-54. Menurut Steenbrink, sekolah ini merupakan sekolah swasta Islam pertama yang memenuhi syarat mendapatkan subsidi pemerintah dan pada akhirnya mendapatkan subsidi tersebut. Pada tahun 1923, di Yogyakarta telah berdiri empat sekolah dasar Muhammadiyah dan mempersiapkan berdirinya HIS dan sekolah pendidikan guru.
[15] Karel A. Steenbrink menyebut ada 4 faktor, yaitu keinginan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, semangat nasonalisme melawan Belanda, memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, melakukan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren… hlm. 26-28.
[16] Tarmi, “Kebangkitan dan perkembangan Madrasah di Indonesia” dalam  Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan, hlm.194-197.
[17] Muhammad Daud, Lembaga lembaga Islam di Indonesia (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 149.

[18] Sekolah ini bertujuan menghasilkan pegawai-pegawai rendahan baik untuk pegawai negeri maupun pegawai swasta. Pembukaan sekolah itu didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan dengan pekerjaan di berbagai bidang dan kejuruan.Makalah sejarah Pendidikan, www.ukhuwahislah.blogspot.com, diunduh Sabtu, 28 September 2013.
[19] Makalah sejarah Pendidikan, www.ukhuwahislah.blogspot.com, diunduh Sabtu, 28 September 2013.

[20] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 152.
[21] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidika…, hlm. 196-198.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar