MODEL LEMBAGA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Nismatul Khoiriyah
Mahasiswa Magister Studi Islam Konsentrasi Supervisi Pendidikan Agama Islam UMY 2013
A.
Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar menyiapkan generasi muda (peserta
didik) melalui aktivitas pengajaran, bimbingan dan/ atau latihan bagi
peranannya di masa yang akan datang.[1]
Lembaga pendidikan baik formal, non formal atau informal adalah
tempat transfer ilmu pengetahuan dan budaya (peradaban). Melalui praktik
pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, peserta didik diajak
untuk memahami bagaimana sejarah atau pengalaman budaya dapat ditransformasi
dalam zaman kehidupan yang akan mereka alami serta mempersiapkan mereka dalam
menghadapi tantangan dan tuntutan yang ada di dalamnya. Dengan demikian lembaga
pendidikan sebagai tempat pembelajaran manusia memiliki fungsi sosial yaitu
sebagai agen perubahan dalam masyarakat.
Berbicara tentang lembaga pendidikan, kita harus memahami sejarah
dan dinamikanya, mulai dari awal pemunculannya sampai dengan sekarang ini yang erat
kaitannya dengan kondisi masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan serta
kebijakan pemerintah.
B.
Pembahasan
1.
Lembaga
Pendidikan
Pendidikan adalah setiap proses di mana seseorang memperoleh
pengetahuan, mengembangkan kemampuan/ keterampilan atau mengubah sikap. Pendidikan
memiliki fungsi sosial dan individual, fungsi sosialnya membantu individu
menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman
kolektif masa lampau dan masa kini. Fungsi individualnya, memungkinkan seorang
menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan menyiapkannya
menghadapi masa depan.[2]
Proses pendidikan dapat berlangsung secara formal (wujudnya berupa
satuan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat),
informal (keluarga dan masyarakat), dan non formal (lembaga kursus, lembaga pelatihan, pusat kegiatan
belajar masyarakat (PKBM), majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis).[3]
Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa lembaga
pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak dan karakter
masyarakat. Belajar dari sejarah perkembangan lembaga pendidikan di Indonesia
memiliki ragam corak dan tujuan yang berbeda sesuai dengan kondisi yang
melingkupi, mulai dari zaman kerajaan dengan bentuknya yang sangat sederhana, zaman
penjajahan yang sebagian memiliki corak ala Barat dan gereja, dan corak ketimuran ala pesantren,
serta model dan corak kelembagaan yang berkembang saat ini.[4]
2.
Sejarah
Lembaga Pendidikan di Indonesia
Lembaga
pendidikan merupakan satu sistem yang memungkinkan berlangsungnya pendidikan
secara berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Bila kita
lihat jauh ke belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya
merupakan adopsi dari berbagai model pendidikan di masa lalu. Informasi
mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat
terekonstruksi dengan sempurna, namun bisa diasumsikan pendidikan masa itu
berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana.
Sebelum masuknya Hindu, pendidikan diberikan
langsung oleh orang tua atau orang tua-orang tua dari masyarakat setempat
mengenai kehidupan spiritual moralnya dan cara hidup untuk memenuhi
perekonomian mereka. Dalam kebudayaan Hindu-Budha dikenal sistem pendidikan Karsyan
(bagi petapa dan orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan
tujuan mendekatkan diri pada dewa). Karsyan
memiliki dua bentuk, yaitu patapan (tempat seseorang mengasingkan diri sampai
berhasil menemukan petunjuk atau sesuatu diinginkan) dan mandala (tempat
suci yang menjadi pusat kegiatan keagamaan, sebuah kawasan yang diperuntukan
untuk para wiku/ pendeta, murid, juga pengikutnya).
Dalam Islam, lembaga pendidikan merupakan hasil
pemikiran yang dicetuskan oleh kebutuhan masyarakat yang didasari, digerakkan,
dan dikembangkan oleh jiwa Islam (Al-Qur’an dan Sunnah). Islam telah mengenal
lembaga pendidikan sejak awal turunnya wahyu. Rumah Al Arqam ibn Abi Al
Arqam merupakan lembaga pendidikan pertama dan guru agung yang pertama adalah
Nabi Muhammad saw. Sejalan dengan makin berkembangnya pemikiran
tentang pendidikan, maka didirikanlah berbagai macam lembaga pendidikan Islam
mulai dari yang tradisional maupun modern.
Secara garis besar sistem pendidikan Islam di
Indonesia sebelum kemerdekaan terbagi menjadi dua, yaitu pengajian al-Qur’an
dan pengajian kitab[5].
Pengajian al-Qur’an merupakan pendidikan paling sederhana dan bersifat
individual yang diberikan di rumah guru, di surau, langgar maupun di rumah
orang tua murid. Dalam pengajian ini murid mempelajari huruf-huruf Arab dan
menghafalkan sebagian ayat-ayat dalam al-Qur’an (juz Amma), tata
cara wudlu, shalat dan ilmu tajwid. Pengajian kitab
diberikan secara individual dan kelompok (halaqah), pada umumnya murid
masuk dalam asrama (pesantren), mata pelajaran awal adalah bahasa Arab (Nahwu,
Sharaf) dan dilanjutkan dengan Fiqih, Tauhid, Ushuluddin, Tafsir, Tasawuf, Hadits,
Hisab dan Falak (tergantung keahlian/ perhatian kyai).
Berikut dipaparkan sekilas lembaga pendidikan
yang ada di Indonesia:
a.
Surau
Surau bagi
masyarakat Minangkabau memiliki multifungsi, yaitu: sebagai tempat berkumpul,
rapat, tempat tidur, persinggahan perantau dan sebagai lembaga pendidikan
Islam. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem
pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan di awal adalah
huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu, seperti aqa’id,
akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam
hari, ada dua jenjang dalam pendidikan surau ini, yaitu: pengajaran al-Qur’an
dan pengajian kitab.[6]
b.
Meunasah
Meunasah
merupakan lembaga pendidikan tingkat rendah yang ada di Aceh, fungsinya hampir
sama dengan surau. Materi pelajaran yang diberikan masih seputar pengetahuan
tentang bagaimana cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar, kemudian baru
diberikan pengetahuan tentang keimanan, akhlak dan ibadah. Meunasah merupakan
madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu, karenanya tidaklah
mengherankan jika orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.[7]
Selanjutnya para murid dapat meneruskan belajar Islam di Dayah dan Rangkang.
c.
Pesantren
Pesantren adalah salah satu
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, mendalami, memahami dan
mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam.[8]
Menurut Sudjoko Prasodjo, Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama; pada umumnya dengan cara non klasikal, kyai mengajarkan kitab-kitab
berbahasa Arab darih Ulama’ abad pertengahan dan para santri tinggal dalam
asrama pesantren tersebut.[9]
Karakteristik pesantren dapat
dilihat melalui[10]:
(1) sumber kajian (kitab-kitab berbahasa Arab: Al-Qur’an, Hadis, Tafsir,
Tajwid, ilmu Kalam, Fiqh, Ushul Fiqh, Nahwu, Sharaf, Tarikh, Mantiq, Tasawuf
dan lain-lain), (2) metode pengajaran (sorogan, wetonan/ bandongan/ halaqah dan
hafalan), (3) prinsip-prinsip pendidikan (sukarela dalam pengabdian, kearifan,
kesederhanaan, kolektivitas, kemandirian, mencari ilmu dan mengabdi, bukan
mencari ijazah, restu kyai), (4) fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, sosial
dan penyiaran agama (transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, pemeliharaan
tradisi Islam dan reproduksi ulama)[11],
(5) kedekatan hubungan antara kyai dan santri, kepatuhan santri terhadap kyai.
Dari perspektif
kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan
terhadap berbagai gelombang modernisasi. Nilai nilai progresif
dan inovatif diadopsi pesantren sebagai suatu strategi untuk mengejar
ketertinggalan dari model pendidikan lain. Hal inilah yang menurut
Azyumardi Azra menjadikan pesantren tetap survive ditengah gelombang
modernisasi dan globalisasi. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing
sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.
d.
Sekolah
Kata
sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole,
scola, scolae atau skhola yang berarti waktu luang
atau senggang, ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu
luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan
menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja dengan mempelajari
cara berhitung, cara membaca huruf, mengenal moral dan estetika (seni) yang didampingi oleh ahli dan paham psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang
sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui
berbagai pelajaran di atas.[12]
Model lembaga
sekolah di Indonesia dibawa dan dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda
yang sangat berbeda dengan lembaga pendidikan Islam saat itu baik dari sisi
metode, isi dan tujuannya. Sekolah memusatkan pendidikannya pada pengetahuan
dan ketrampilan duniawi, sedangkan lembaga pendidikan Islam ditekankan pada
pengetahuan dan ketrampilan keagamaan. Hollandsch-Inlandsche School
(HIS) adalah sekolah tertinggi dengan kurikulum 7 tahun yang hanya
diperuntukkan kalangan terkemuka. Bagi rakyat biasa didirikan “sekolah desa”
yang merupakan pendidikan dasar 3 tahun, dan dapat melanjutkan ke Schakelschool
(5 tahun, setara dengan HIS).[13]
Kebijakan
pemerintah Belanda tentang sekolah sangat mempengaruhi lembaga pendidikan Islam
yang ada saat itu, banyak diantara para guru pengajian (guru agama Islam) yang
mengenyam sekolah desa dan kemudian menerapkan sistem tersebut. Bahkan beberapa
tokoh mendirikan lembaga pendidikan dengan mengadopsi sistem sekolah, yaitu
memberikan pendidikan umum secara klasikal. Diantaranya, Abdullah Ahmad di
Padang, mendirikan sekolah Adabiyah (1907), Sumatera Thawalib didirikan oleh
Zainuddin Labai yang mengawinkan antara sistem sekolah dengan metode pendidikan
dari Mesir, selanjutnya ia juga mendirikan Diniyyah School di Padang
Panjang (1915), Normal Islam diprakarsai oleh Mahmud Yunus (1931) yang
mengadopsi sistem sekolah, jadwal dan kurikulum sudah ditetapkan dan diatur
jenjang kelas I sampai IV, pelajaran umum diberikan seimbang dengan pelajaran
agama. Tahun 1911, K.H. Ahmad Dahlan memprakarsai berdirinya sekolah dasar di
lingkungan Kraton Yogyakarta berdasarkan sistem pendidikan gubernemen[14].
e.
Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang kurikulumnya
memuat pelajaran agama dan umum yang dilakukan secara klasikal. Tumbuh dan
berkembangnya madrasah di Indonesia disebabkan dua hal, yaitu adanya gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia[15]
dan sebagai respon pendidikan Islam terhadap kebijakan Pendidikan Hindia
Belanda (mendirikan sekolah zending, sekolah khusus untuk anak-anak Belanda dan
kalangan pribumi yang terkemuka, melarang mengajarkan agama Islam di
sekolah-sekolah yang didirikan maupun di subsidi oleh pemerintah Belanda).[16]
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan
sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang baik yang dapat
dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi
yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum
madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga lembaga pendidikan
Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang
disebut dengan ilmu umum.[17]
3.
Kebijakan
Pemerintah tentang Model Lembaga Pendidikan
a.
Pemerintah Kolonial Belanda
Secara umum penyelenggaraan pendidikan kolonial
adalah sebagai berikut:
(1) Membiarkan
terselenggaranya pendidikan Islam tradisional serta memberikan subsidi, antara
lain: melanjutkan sistem lama dalam bentuk pengajian al-Qur’an dan kitab kuning,
membantu pendirian pondok pesantren misalnya di Tebuireng dan Gontor,
memberikan subsidi pada sekolah, misalnya sekolah adabiyah dan sekolah Islam di
Yogyakarta.
(2) Mendirikan
sekolah Zending (misionaris) yang bertujuan menyebarkan agama
Kristen untuk orang-orang Belanda dan bumi putra.
Ciri
khas yang melekat pada sekolah Belanda, antara lain: (a) dualistik
diskriminatif, yaitu membedakan pendidikan untuk orang Eropa dan Bumiputera[18]
(b) sentralistik yaitu pemerintah kolonial Belanda memiliki hak mengatur
pendidikan di daerah koloninya, dan (c) tujuannya dapat menghasilkan tamatan
yang menjadi warga negara Belanda kelas dua.
b.
Pendudukan Jepang
Penyelenggaraan pendidikan zaman
Jepang ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi
Jepang. Oleh karena itu banyak pemuda dilatih baris berbaris, bela diri,
menggunakan senjata sehingga lahir Keibodan (polisi pembantu), Heiho (tentara
pembantu), Fujinkai (sukarelawan wanita) yang semuanya bergabung dalam Peta
(Pembala Tanah Air).
Sekolah yang didirikan Belanda
dirombak, misalnya sekolah rendah (Lagere Onderwijs) diganti Sekolah
Rakyat (Kokumin Gakho) terbuka untuk semua penduduk dengan lama pendidikan enam
tahun[19]dan
beberapa sekolah yang didirikan Jepang untuk rakyat. Namun demikian, akibat
dampak perang dunia II menjadikan penjajah Jepang semakin kejam, pendidikan
semakin terbengkalai karena setiap hari murid disuruh olah raga, baris
berbaris, kerja bakti (romusha) dan lain-lain. Yang masih beruntung adalah
pondok pesantren dan madrasah yang bebas pengawasan dari Jepang, pendidikan
masih dapat berjalan.[20]
c.
Pemerintah R.I.
Ditinjau dari
segi falsafah Pancasila dan UUD 1945 dan dari produk perundang-undangan lainnya
yang mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, maka kehidupan
beragama dan pendidikan semakin mantap. Teknik pelaksanaan pendidikan agama di
sekolah umum mengalami perubahan baik dari sisi keilmuannya maupun dari
strategi dan metode pelaksanaannya.
Pasca
kemerdekaan Indonesia, Departemen Agama diserahi kewajiban dan tanggung jawab
membina dan mengembangkan pendidikan agama dalam lembaga pendidikan yang ada,
baik negeri maupun swasta.[21]
Seterusnya Institusi ini juga mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di
sekolah umum.
C. Kesimpulan (Analisis Model Lembaga Pendidikan di Indonesia)
Penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan di Indonesia
berjalan dinamis dan memiliki ragam model. Diantaranya adalah pesantren,
sekolah dan madrasah. Pesantren merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama (Islam), sekolah merupakan sistem pendidikan
Barat yang pada awalnya tidak mencampurkan pendidikan umum dan agama namun dianggap
modern, kemudian muncul madrasah sebagai konvergensi antara sistem pesantren
dan sekolah.
Sekolah adalah lembaga dibawah binaan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, sementara Madrasah dibawah tanggung jawab Kementrian Agama. Tentu
saja kebijakan pendidikan dibawah dua kementrian yang berbeda menimbulkan
berbagai macam persoalan. Lulusan madrasah, misalnya dianggap mandul dengan
penguasaan pengetahuan dangkal dan penguasaan ilmu agama yang tidak jauh
berbeda dengan lulusan dari sekolah umum.
Berbagai kebijakan pun diluncurkan oleh menteri agama, Munawir
Sadzali mengeluarkan kebijakan MAPK untuk menjawab kelangkaan ulama, Tarmidzi
Taher menawarkan kebijakan “Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas
agama Islam. Sekali lagi setiap kebijakan ada kelemahannya. Dari kebijakan yang
ditawarkan Tarmidzi Taher terjadi perbedaan tajam antara kelompok yang memahami
secara simbolik dan kelompok yang memahami secara substansial. Kelompok
Simbolik hanya melihat tampilan luar, misalnya seragam yang digunakan
siswa-siswinya, sapaan yang digunakan, dan lain-lain. Sementara pengikut
substansial menganggap kebijakan tersebut sebagai upaya mewujudkan insan kamil
yang memiliki dan mengembangkan pandangan, sikap dan ketrampilan hidup yang
berperspektif islami.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Pesantren: “Kontinuitas
dan Perubahan”dalam Nurcholis Madjid, Bilik-bilik
Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina: 1996
Daud, Muhammad, Lembaga
lembaga Islam di Indonesia ,Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1995
Mastuhu, Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Muhaimin, Wacana Pengembangan
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia,
Jakarta: Bumi Aksara.tt.cet 2.
Nata, Abuddin, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: Grasindo, 2001
Prasodjo, Sudjoko, et al., Profil Pesantren, Jakarta:
LP3ES, 1982.
Steenbrink, Karel A., Pesantren,
Madrasah, Sekolah ; Pendidikan Islam
dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3 ES, 1986.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Tahun 2003, www. Tripod.com
www.kangsaviking.wordpress.com diunduh Sabtu 28 September 2013.
Wikipedia: id.wikipedia.org diunduh Sabtu, 28 September 2013.
[1] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Tahun 2003, www. Tripod.com diunduh: Ahad, 29 September 2013.
[3] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, www.Tripod.com diunduh: Ahad, 29
September 2013. Lihat Wikipedia: id.wikipedia.org diunduh Sabtu, 28 September
2013.
[4] Nasution. Sejarah
Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi
Aksara.tt.cet 2. Hlm. 152
[5] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah ; Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen, (Jakarta: LP3 ES, 1986), hlm. 10-14.
[6] Samsul Nizar, “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara” dalam Abuddin Nata, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Grasindo, 2001), hlm.7-12.
[7] M.
Sadli Z.A., “Pendidikan Islam di Kesultanan Aceh” dalam Abuddin Nata, Sejarah
…, hlm.42-43.
[10] Hasan Basri, “Pesantren: Karakterstik dan Unsur-unsur Kelembagaan”,
dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan…, hlm.107-119.
[11] Azyumardi Azra, Pesantren: “Kontinuitas dan Perubahan”dalam Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren:
Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina: 1997), hlm. xxi.
[14] Karel A. Steenbrink, Pesantren… hlm. 52-54.
Menurut Steenbrink, sekolah ini merupakan sekolah swasta Islam pertama yang
memenuhi syarat mendapatkan subsidi pemerintah dan pada akhirnya mendapatkan
subsidi tersebut. Pada tahun 1923, di Yogyakarta telah berdiri empat sekolah
dasar Muhammadiyah dan mempersiapkan berdirinya HIS dan sekolah pendidikan
guru.
[15] Karel A. Steenbrink menyebut ada 4 faktor, yaitu keinginan kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah, semangat nasonalisme melawan Belanda, memperkuat
basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, melakukan pembaharuan
pendidikan Islam di Indonesia. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren…
hlm. 26-28.
[16] Tarmi, “Kebangkitan dan perkembangan Madrasah di Indonesia” dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan…, hlm.194-197.
[17]
Muhammad Daud, Lembaga lembaga Islam di Indonesia (Jakarta :
PT.Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 149.
[18] Sekolah ini bertujuan menghasilkan
pegawai-pegawai rendahan baik untuk pegawai negeri maupun pegawai swasta.
Pembukaan sekolah itu didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan dengan
pekerjaan di berbagai bidang dan kejuruan.Makalah sejarah Pendidikan, www.ukhuwahislah.blogspot.com, diunduh Sabtu, 28 September 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar